REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar enam juta orang di seluruh dunia meninggal karena serangan jantung mendadak yang disebabkan oleh sudden cardiac arrest (SCA) setiap tahunnya. Dalam hal ini, wanita lebih kecil kemungkinannya untuk selamat dari serangan jantung dibandingkan pria.
Selama lima tahun terakhir, para peneliti dari European Heart Rhythm Association (EHRA) dari European Society of Cardiology (ESC) dan European Resuscitation Council (ERC) memiliki kesimpulan yang dikeluarkan pada 1 Januari 2023. Selama ini, lebih dari 100 studi yang terkait dengan penelitian ESCAPE-NET telah dipublikasikan di jurnal peer-review. Satu studi yang diterbitkan dalam Journal of American Heart Association pada Desember 2021, menemukan bahwa kunjungan perawatan meningkat tajam pada pekan sebelum seseorang mengalami SCA.
Studi lain, yang diterbitkan dalam European Heart Journal pada Mei 2019, menemukan bahwa wanita yang mengalami serangan jantung perlu menerima perawatan resusitasi yang lebih cepat dibandingkan pria. Hal ini menyebabkan tingkat kelangsungan hidup wanita lebih rendah akibat SCA.
Gejala SCA meliputi:
- Pingsan atau kehilangan kesadaran
- Pusing
- Detak jantung tidak teratur
- Sakit dada
- Sesak napas
- Mual
Karena SCA terjadi begitu cepat, pengobatan pertama untuk SCA biasanya memanggil layanan medis darurat dan memberikan cardiopulmonary resuscitation (CPR) sampai bantuan datang. Penelitian sebelumnya menunjukkan, seberapa cepat seseorang melakukan CPR, berdampak langsung pada tingkat kelangsungan hidup serta hasil neurologis dari orang dengan SCA.
Ilmuwan mengevaluasi data 29 ribu pasien dari Cardiac Arrest Registry Denmark yang mengalami out-of-hospital cardiac arrest (OHCA). Setelah dianalisis, peneliti menemukan persentase mingguan pasien yang bertemu dengan dokter umum setahun sebelum OHCA adalah konstan.
Namun, satu pekan sebelum OCHA, 42 persen pasien menghubungi dokter. Tim peneliti juga menemukan bahwa di pekan sebelum mengalami OHCA; ada 57,8 persen pasien menghubungi dokternya. Artinya, serangan jantung mendadak tidak menyerang sepenuhnya dengan tiba-tiba.
“Saya rasa, sebagian besar serangan jantung dapat dihindari jika penyebab yang mendasarinya ditangani dengan cepat sebelum kejadian,” kata seorang ahli jantung non-invasif di Pusat Kesehatan Providence Saint John, Santa Monica, dr Alexandra Lajoie, dilansir Medical News, Selasa (31/1/2023).
Studi ESCAPE-NET yang diterbitkan dalam European Heart Journal menemukan bahwa wanita yang mengalami OHCA memiliki peluang lebih rendah untuk diresusitasi dibandingkan pria. Peneliti menganalisis semua emergency medical service (EMS) yang menangani upaya resusitasi di salah satu wilayah di Belanda.
Ketika melihat data itu, para ilmuwan menemukan wanita dengan OHCA lebih kecil kemungkinannya dibandingkan pria untuk menerima upaya resusitasi, bahkan ketika jelas mereka mengalami henti jantung. Para peneliti juga menemukan wanita dengan OCHA lalu diresusitasi, memiliki peluang bertahan hidup yang lebih rendah daripada pria.
“Ini membuka mata kita untuk mengarah pada kampanye kesadaran publik, yang ditujukan untuk mempersempit kesenjangan gender dalam penanganan serangan jantung mendadak,” kata pimpinan penelitian ESCAPE-NET yang juga spesialis kardiologi di Amsterdam University Medical Center AMS, dr Han Tan.
Meskipun belum ada alasan berbasis gender mengapa wanita berisiko lebih tinggi terkena serangan jantung dan kecil kemungkinannya bisa selamat, banyak dari wanita cenderung menunda pergi ke dokter ketika merasakan gejala awal. Selain itu, berbagai penelitian yang menyebut pria lebih mungkin terkena serangan jantung, juga membuat wanita abai.