REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) mengatakan bahwa lebih dari 50 persen anak mengalami kekambuhan untuk kembali berperilaku merokok atau smoking relapse. "Perokok anak di Indonesia masih mengalami tren peningkatan dari 2006-2019. Tapi angka smoking relapse anak juga masih relatif tinggi, yakni 50 persen ke atas pada 2009-2019," kata Peneliti Tim Riset PKJS UI Risky Kusuma Hartono dalam webinar 'Diseminasi Smoking Relapse' yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Risky menuturkan, smoking relapse merupakan kekambuhan untuk berperilaku merokok kembali setelah mencoba berhenti merokok. Zat nikotin dalam rokok yang bersifat adiktif berdampak munculnya efek ketagihan dan smoking relapse, meskipun perokok telah memutuskan untuk berhenti merokok. Kondisi tersebut membuat anak yang pernah mempunyai pengalaman merokok menjadi rentan.
Dalam hasil penelitian pihaknya, pada tahun 2019 kejadian smoking relapse lebih tinggi terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, terutama pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kelas 8 dan 9. Hal-hal yang mempengaruhi terjadinya smoking relapse, yakni kenaikan usia anak dan orang tua yang berperilaku merokok. Selain itu, pengguna rokok elektronik dan teman sebaya perokok berpeluang meningkatkan smoking relapse pada anak.
Penyebab lainnya adalah anak sudah terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok dari berbagai media. Banyak kegiatan olahraga yang disponsori industri rokok dan promosi pemberian rokok gratis juga memicu hal tersebut, katanya.
Menurutnya, salah satu upaya yang bisa mencegah hal tersebut terjadi adalah dengan menaikkan harga rokok per bungkus maupun harga rokok per batang, agar dapat menurunkan probabilitas anak kembali merokok. Harga rokok yang ditetapkan di atas Rp2.100 per batang, diduga bisa menurunkan peluang smoking relapse pada anak. Sedangkanmenaikkan harga rokok kategori lebih dari Rp31.000 per bungkus memiliki nilai probabilitas paling besar dalam menurunkan peluang smoking relapse.
"Walaupun sama-sama terdapat kenaikan harga, pembelian rokok secara per bungkus menunjukkan penurunan yang lebih curam untuk smoking relapse pada anak dibandingkan pembelian rokok secara ketengan," katanya.
Koordinator Profil Pelajar Pancasila dan Inklusivitas pada Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Dian Srinursih menanggapi bahwa smoking relapse menjadi satu tantangan dalam menyelesaikan permasalahan merokok pada anak.
Dian menyatakan, untuk menekan angka prevalensi perokok di usia sekolah, Kemendikbudristek sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 64 Tahun 2015 yang bisa dijadikan acuan oleh sekolah dalam pemberian pengawasan dan sanksi yang tegas kepada siswa.
Sekolah juga tidak boleh mencantumkan atau membiarkan spanduk, papan, iklan, reklame, atau bentuk lainnya dari perusahaan rokok di lingkungan sekolah.
"Selain itu Dinas Pendidikan berdasarkan laporan atau informasi berhak memberi teguran atau sanksi kepada kepala sekolah yang melanggar kawasan tanpa rokok," katanya.