Oleh: DR Najib Gisymar, Akademisi dan Praktisi Hukum.
Ferdy Sambo dan kasusnya dalam satu tahun terakhir menjadi topik sentral pembicaraan hukum di Republik ini yang tidak tergeser dengan isu politik oligarkhi. Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa “berjuang” dalam perspektif masing-masing dengan sosok yang sama, Ferdy Sambo.
Menarik dikulik saat Sambo membacakan nota pembelaannya (Pledooi) dengan mengungkap keterlibatannya dalam penangkapan Jaksa Pinagki pada kasus Joko Chandra, dan kebakaran di Gedung Bundar beberapa waktu lalu. Wajar khalayak dibuat jengah dengan tuntutan hanya seumur hidup, mengapa bukan hukuman mati?, apalagi Jaksa tidak menyebutkan hal-hal yang meringankan. Semoga bukan No free lunch.
Konstruksi Pasal 340 KUHP seharusnya mampu membawa argumentasi dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim dengan ujung ucapan hukuman mati.
Mengapa? Pertama; karena disitu nyali hukum Majelis Hakim diuji obyektifitasnya dengan basis argumen unsur-unsur Pasal 340 KUHP. Kedua; tuntutan seumur hidup masih menyisakan ruang dialektika kegamangan jaksa, tanpa berani mengesampingkan Pledooi yang memuat kasus suap Jaksa Pinangki dan kebakaran Gedung bundar.
Ketiga; kasus Sambo merontokkan institusi polri pada titik minus, dimana korban hanya seorang, tetapi puluhan personil Polri terjebak dalam drama obstruction of justice dari perwira berbintang dia hingga petugas polisi biasa setingkat Kompol.
Maka nyali keadilan Majelis Hakim dengan hukuman mati semakin penting ketika memutus kasus Sambo yang rencanya akan dibacakan pada sidang yang digelar di Pengadikan Negeri Jakarta Selatan, pada Senin lusa (13/2/2023).
Adanya putusan itu setidaknya akan membuktikan sejauh mana independensi dan kemandirian hakim yang dalam pledoi Sambo dicoba diusik dengan segala bentuk “kepahlawanan” dan deretan prestasinya diri ketika menjadi petingi Polri.