Oleh : Andri Saubani, redaktur Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap mendiang Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J dengan terdakwa utama Ferdy Sambo akhirnya sampai di ujung pembacaan vonis oleh majelis hakim. Putusan hukuman mati terhadap Sambo yang dibacakan oleh Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso pada Senin (13/2/2023) terbilang mengejutkan lantaran lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya yang menginginkan Sambo dihukum penjara seumur hidup.
Putusan hukuman mati terhadap Sambo diambil majelis hakim secara bulat tanpa dissenting opinion. Dalam pertimbangan putusannya, majelis hakim yakin bahwa, Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Majelis pun berpendapat, unsur dengan sengaja, tanpa hak, dan melawan hukum merampas nyawa orang lain telah nyata terpenuhi. Putusan hakim juga mengenyampingkan pembelaan-pembelaan dari tim penasihat hukum Sambo lewat pertimbangan tidak ada hal-hal dari terdakwa yang bisa meringankan putusan.
Pada hari yang sama, majelis hakim juga membacakan vonis untuk istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi yang juga menjadi terdakwa untuk perkara yang sama. Senasib seperti suaminya, Putri dihukum 20 tahun penjara, jauh lebih berat dari tuntutan delapan tahun penjara yang diajukan jaksa.
Baca juga : IPW Menilai Ferdy Sambo tak Layak Dihukum Mati, Ini Analisisnya
Layakkah Sambo dihukum mati? Pertanyaan itu sudah menjadi polemik sejak awal mula kasus ini terkuak dan belum akan bisa terjawab tuntas hingga putusan nantinya berkekuatan hukum tetap. Kubu Sambo pun pastinya akan mengambil hak hukumnya untuk banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK). Namun, jika kita kembali mengulas jalannya persidangan sejak awal plus bumbu-bumbu cerita di luar sidang yang menyertainya, bisa dipahami bahwa majelis hakim yang dipimpin Wahyu Iman Santoso tidak bisa menjatuhkan putusan di ‘ruang hampa’ tanpa memedulikan derasnya opini publik dan pemberitaan media massa.
Figur Ferdy Sambo sebagai jenderal polisi bintang dua yang memegang jabatan penting di Mabes Polri sebagai kepala Divisi Propam, sejak awal menjadi alasan kasus pembunuhan ini bukanlah kasus pembunuhan biasa. Bagi media, kasus yang melibatkan Sambo bahkan semakin ke sini semakin memiliki nilai berita tinggi karena Sambo memanfaatkan relasi kuasanya untuk merekayasa skenario alibi yang kemudian ikut menyeret keterlibatan banyak petinggi di Trunojoyo. Seperti kata pepatah, 'sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya akan tetap tercium juga' dan kemudian Sambo pun menjadi tersangka dan diadili.
Saking kasus ini mendapatkan perhatian luar biasa dari publik dan pemberitaan yang masif, lembaga survei Indikator Politik Indonesia bahkan sempat menggelar survei. Hasilnya, menurut survei tersebut, 54,9 persen responden atau suara mayoritas menilai Sambo pantas mendapatkan hukuman mati.
Baca juga : Meski Divonis Mati, Sambo Tetap Bisa Diperkarakan dalam Kasus Konsorsium 303 dan KM50
Sedangkan 26,4 persen responden ingin Sambo dipenjara seumur hidup dan hanya 3,4 persen yang berpendapat Ferdy Sambo ‘cukup’ dihukum 20 tahun penjara. Survei yang digelar terhadap 1.229 responden acak itu juga mendapati bahwa mayoritas responden cukup dan sangat percaya (75-76 persen) bahwa Ferdy Sambo telah merekayasa peristiwa tewasnya Brigadir J.
Hasil survei di atas bisa menjadi cerminan bagaimana publik menangkap fenomena kasus pembunuhan terhadap Brigadir J dan seberapa berat hukuman yang diinginkan publik terhadap Ferdy Sambo.
Setelah surat dakwaan dibacakan oleh tim jaksa penuntut umum (JPU) pada 17 Oktober 2022, isu dan pemberitaan kasus pembunuhan Brigadir J sempat mereda. Tidak ada yang spesial dari sidang-sidang pembuktian yang digelar secara marathon hampir setiap hari pada hari kerja itu.
Pada awal Januari 2023, publik sempat dihebohkan oleh beredar viralnya rekaman video yang dinarasikan berisi percakapan seorang hakim pengadil perkara Sambo dengan pejabat Mabes Polri membicarakan persidangan Sambo cs, namun isu itu tak menjadi liar setelah pihak Mahkamah Agung memberikan klarifikasnya. Polemik justru kembali terjadi ketika tim JPU membacakan nota tuntutannya pada pertengahan Januari 2023.
Baca juga : Sambo Bisa Lolos dari Hukuman Mati, Ini Analisis Pakar
Alih-alih menuntut hukuman maksimal hukuman mati kepada Sambo, JPU memilih opsi pidana penjara seumur hidup. Yang paling memicu protes publik khususnya kubu keluarga Brigadir J adalah tuntutan terhadap terdakwa lain yakni Putri Candrawathi, Bripka Rizky Rizal, dan Kuat Ma’ruf yang dinilai bersama-sama Sambo melakukan pembunuhan, ‘hanya’ dituntut delapan tahun penjara. Bharada Richard Eliezer, ajudan Sambo sang eksekutor utama pembunuhan, yang dinilai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berperan sebagai justice collaborator, justru dituntut lebih berat daripada Putri cs, yakni 12 tahun penjara.
Tim jaksa dari Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat mengakui adanya dilema yuridis seusai menjatuhkan tuntutan terhadap para terdakwa. Namun, para jaksa enggan mengelaborasi dilema yuridis yang dimaksud itu, sambil menunggu putusan dari majelis hakim yang meminta waktu dua pekan untuk merumuskan putusan setelah rangkaian agenda pembacaan pleidoi, replik, dan duplik atas tuntutan jaksa.
Masa-masa menunggu putusan hakim kemudian kembali diwarnai oleh opini-opini dan bahkan desakan agar majelis hakim menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada Sambo. Mulai dari anggota DPR, petinggi ormas Islam, sampai menteri pun menyampaikan pendapat mereka yang meminta hakim mendengarkan suara publik dengan menjatuhkan vonis maksimal kepada Sambo. Menko Polhukam Mahfud MD lewat akun Twitter-nya bahkan sempat memanjatkan doa khusus untuk Eliezer, berharap ia divonis ringan oleh hakim.
Baca juga : Pengacara Brigadir J Minta Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf Divonis Berat
Sebagai manusia dengan predikat 'wakil Tuhan', apakah hakim akan selalu senantiasa bersikap independen dalam mengadili dan memutus perkara dengan semata berpegang pada fakta-fakta dan bukti yuridis di persidangan? Pertanyaan itu dulu pernah dijawab setelah saya bertanya kepada salah seorang hakim yang mengadili jaksa Urip Tri Gunawan yang dihukum penjara lebih berat dari tuntutan jaksa KPK di kasus suap.
Kepada saya, hakim itu mengakui bahwa opini publik terhadap suatu kasus juga ikut memengaruhi hakim dalam mengambil putusan. Dan putusan terhadap Ferdy Sambo saat ini, membuat saya teringat akan pertanyaan saya itu pada 2008 silam.