Selasa 14 Feb 2023 14:21 WIB

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya: Perjokian Dunia Akademik Memprihatinkan

Perjokian di dunia akademik sudah sangat memprihatinkan.

Rep: muhammad subarkah/ Red: Muhammad Subarkah
 Wisuda menjadi salah satu momen yang ditunggu oleh mahasiswa, karena pada akhirnya resmi dilantik dan mendapat gelar setelah penuh perjuangan untuk lulus. (ilustrasi)
Foto: Universitas Bina Sarana Informatika
Wisuda menjadi salah satu momen yang ditunggu oleh mahasiswa, karena pada akhirnya resmi dilantik dan mendapat gelar setelah penuh perjuangan untuk lulus. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Anggota DPR RI, Zainuddin Maliki, mengatakan bahwa praktik perjokian di dunia akademik terkait sangat menyedihkan serta memprihatinkan. Praktik ini terjadi dalam pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan. Bahkan, perjokian pembuatan karya ilmiah sebagai syarat pembuatan gelar guru besar yang terjadi di perguruan tinggi negeri ataupun swasta di kota-kota besar di Indonesia.

"Kasus ini mengingatkan saya pada tulisan Kunio Yoshihara tentang Erzatz Capitalism atau kapitalisme semu. Tulisan Kunio Yoshihara ini dituangkan dalam bukunya The Rise of erzats capitalism in Southeast Asia. Munculnya kapitalisme semu di Asia Tenggara,'' kata Zainuddin Maliki, Selasa (14/2/2013) siang.

Zainuddin selanjutnya, menyatakan maksud dengan kapitalisme semu adalah perilaku pelaku bisnis yang menumpuk-numpuk kekayaan. Bukan didasarkan kepada budaya achievement dan moralitas entrepreneurship yang kuat, melainkan didasarkan kepada jaringan kroni yang dia bangun dengan kalangan birokrat. Oleh karena itu, di Indonesia dahulu pernah mengenal istilah 'Kabir' atau kapitalisme birokrat.

"Apa yang dilakukan oleh sejumlah akademisi melakukan tindakan permisif, dalam hal ini melakukan perjokian dalam pembuatan karya ilmiah adalah mirip, untuk tidak mengatakan persis dengan apa yang dilakukan oleh para kapitalis semu itu. Mereka berusaha mengejar gelar akademis dengan cara-cara permisif, bukan didasarkan pada moralitas intelektual dan budaya akademik yang kuat,'' ujarnya.