REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari yang lalu muncul pengakuan mengejutkan dari Amien Rais. Dalam pengakuannya, Amien mengaku sudah tiga bulan terakhir coba kontak Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Namun selama itu pula teleponnya tidak diangkat.
Padahal, ketika Pilpres 2014 dan 2019 lalu, Prabowo dan Amien Rais sangat dekat. Amien menjadi salah satu tokoh terdepan yang mendukung Prabowo menjadi presiden. Keduanya bahkan sempat bertemu di Makkah ketika melakukan ibadah umrah pada Juni 2018.
Amien pernah mengatakan bahwa Prabowo merupakan sosok yang tepat untuk melawan tekanan asing. Sebaliknya Prabowo memuji Amien sebagai mentor politiknya.
Namun seiring dengan berjalannya waktu peta politik berubah. Gerindra yang berada di garis oposisi merapat ke pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sementara Amien Rais tetap berada di barisan yang mengkritik Jokowi. Bahkan ketika ia memutuskan untuk keluar dari Partai Amanat Nasional dan membentuk partai baru, Partai Ummat.
Hubungan Amien dan Prabowo menunjukkan bagaimana politik tidak mengenal lawan dan kawan. Mesra di masa lalu, namun belum tentu di masa kini atau masa depan.
Hal yang sama juga terjadi antara Nasdem dan PDIP. Kedua partai ini dulu terbilang mesra ketika bersama-sama mendorong Jokowi menjadi presiden. Pun halnya antara Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri yang dulu berhubungan baik, tapi kini tampak merenggang.
Semua itu tentu saja tak terlepas dari keputusan politik Surya Paloh yang mendukung Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Langkah Paloh telah membuat 'geram' partai Banteng Moncong putih itu.
Bukan rahasia umum, Anies adalah sosok yang mengalahkan jago PDIP, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilgub DKI. Anies juga dianggap dekat dengan golongan-golongan 'berhaluan kanan' yang tak sejalan dengan PDIP.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto secara terang benderang meminta agar menteri Nasdem untuk mundur dari pemerintahan. Bagi PDIP, Nasdem sudah tidak lagi sejalan karena mendorong capres yang dianggap antitesa Jokowi. Permintaan itu tentu ditolak mentah-mentah Nasdem.
Nasdem sendiri masih bergerak dinamis meski terlibat pembicaraan serius dengan PKS dan Demokrat ihwal pengusungan Anies. Mereka tetap melakukan kontak dengan Golkar yang berada di KIB. Nasdem juga berkomunikasi dengan PKB dan Gerindra.
Pergeseran peta politik tidak hanya di tingkat parpol, tapi juga relawan. Sejumlah relawan yang sebelumya merapat ke Jokowi kini sudah memutuskan calon presidennya ke depan. Immanuel Ebenezer memutuskan mengalihkan dukungannya ke Prabowo. Noel, sapaan akrabnya, terlebih dahulu mendukung Ganjar lewat Ganjar Mania. Hal sama juga dilakukan oleh Abu Janda yang akhirnya merapat ke Prabowo. Padahal dulu berada di posisi yang berseberangan dengan menteri pertahanan itu.
Ya itulah fakta politik. Tidak ada ruang hitam dan putih. Semua bisa dinegosiasikan asal sesuai tujuan politik yang ingin dicapai.
Ke depan, jelang pendaftaran capres maupun cawapres, kita juga akan disuguhi oleh banyak hal yang mengejutkan. Perpindahan koalisi antarpartai atau lompatan tokoh politik dari partai ke partai b akan terjadi. Hal itu adalah wajar apabila terjadi perbedaan pandangan politik.
Waspadai politik transaksional
Namun yang dikhawatirkan bukan soal perpindahan itu, melainkan politik transaksional yang kerap membayangi setiap pemilihan. Karena tujuan utama dalam politik transaksional bukanlah kesamaan program atau visi melainkan berbasis materi atau proyek.
Politik transaksional membuat anggaran tidak efisien dan melahirkan praktik korupsi yang merugikan negara. Politik transaksional menyebabkan suatu pekerjaan tak dijalankan oleh ahlinya sehingga tujuan program tidak tercapai maksimal. Politik transaksional membuat saling sandera yang membuat koalisi berjalan rapuh.
Belum lagi, perjanjian-perjanjian di balik layar antara parpol atau tokoh politik dengan pengusaha serta pihak-pihak tertentu. Perjanjian utang antara Anies-Sandi saat Pilgub DKI dengan pengusaha yang terungkap baru-baru ini, misalnya, mendapat sorotan Bawaslu karena jumlah pemberian uang melebihi batas seharusnya. Yang jelas, politik transaksional berseberangan dengan pelaksanaan good governance.
Inilah mengapa pergeseran politik yang mungkin akan sangat terjadi jelang penetapan capres dan cawapres mendatang sebisa mungkin tidak berdasarkan politik tranksaksional, tapi kesamaan visi dan tujuan.
Untuk itu harus ada kesepahaman bersama antarpartai politik, KPU, Bawaslu, dan melibatkan unsur-unsur penegakan hukum agar praktik ini tidak terjadi setidaknya ditekan seminimal mungkin.
Karena harus diakui, pada praktiknya, politik transaksional telah menjadi sebuah realitas. Ada adagium mengatakan, tidak ada yang gratis dalam dunia politik.
Semua dukungan ada harganya. Apalagi, pemilihan langsung yang telah membuat cost politik yang tak sedikit. KPK pernah melakukan survei untuk menjadi kepala daerah di tingkat II butuh sekitar 20-30 miliar. Sementara buat menjadi gubernur butuh Rp 100 miliar. Bayangkan jika di level Presiden, berapa besar dana yang dibutuhkan untuk menjangkau seluruh 38 provinsi?
Untuk itu hal yang paling memungkinkan dalam menekan politik transaksional ini adalah menjual ide/gagasan atau program. Ide-ide dalam membangun negeri harus terus disampaikan dengan alasan-alasan yang realistis dan masuk akal.
Bukan jargon atau sekadar mencuplikkan hasil-hasil lembaga survei yang berbasis popularitas. Paradigma ini juga yang sejatinya dikedepankan dalam sebuah pergeseran politik.