Oleh : Erik Purnama Putra, Wartawan Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Stasiun Manggarai terus menjadi perbincangan warganet, khususnya di lini masa belakangan ini. Perbincangan yang muncul kerap bernada negatif. Rata-rata, mereka mengeluhkan kebijakan terbaru di Stasiun Manggarai.
Apa masalahnya? Mari dibedah satu per satu. Pertama, dihapuskannya perjalanan KRL Commuter Line rute Bogor-Tanah Abang. Keputusan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang menghapus rute strategis tersebut sangat banyak dikeluhkan penumpang.
Padahal, selama ini, penumpang KRL ke arah Bogor dari Manggarai jumlahnya lebih banyak dibandingkan rute ke Bekasi/Cikarang. Bahkan masih terbilang besar bagi rute Tanah Abang ke Serpong/Rangkasbitung maupun Duri-Tangerang.
Sayangnya, pembangunan Stasiun Manggarai untuk dijadikan sebagai stasiun sentral dengan bangunan bertingkat membuat PT KCI harus menata grafik perjalanan kereta terbaru. Akhirnya, rute Bogor/Depok/Nambo yang selama ini tersedia langsung ke Stasiun Sudirman atau Tanah Abang, akhirnya harus transit di Manggarai.
Dampaknya, para penumpang harus menunggu KRL yang datang dari arah Bekasi jika ingin menuju Stasiun Sudirman atau Tanah Abang. Hal itu karena KRL dari arah selatan, yang mencakup Bogor/Nambo/Depok diarahkan untuk menuju lantai atas. Sehingga hanya rute menuju Stasiun Kota dari arah selatan yang tidak perlu transit di Stasiun Manggarai.
Adapun jika penumpang yang dominan merupakan kaum pekerja maka harus sabar menunggu kereta dari Bekasi untuk bisa melanjutkan perjalanan ke arah Stasiun Sudirman atau Tanah Abang yang menjadi kawasan perkantoran. Sampai di sini, akhirnya mereka harus menambah waktu perjalanan karena menunggu kedatangan kereta di Stasiun Manggarai.
Sialnya, penumpukan penumpang yang jumlahnya ribuan itu tidak didukung dengan infrastruktur memadai. Bahkan, pada saat rush hour, suasana di Stasiun Manggarai terlihat kacau. Bagi siapa pun yang terpaksa harus transit saat jam berangkat dan pulang kerja maka mereka bisa merasakan ada ketidakberesan dalam pengaturan perjalanan KRL.
Ketika penumpang menumpuk, malahan alur berpindah moda ketika transit terhambat dengan desain terbaru stasiun yang dibuat tiga lantai. Pembangunan stasiun yang menyediakan jalur layang membuat penumpang tidak bisa lagi berpindah peron dengan melewati jalan di bawah seperti dulu. Hanya rute Bogor-Kota atau sebaliknya saja yang masih dipertahankan.
Ketika ribuan orang secara bersamaan harus berpindah peron atau berganti kereta karena kebijakan transit, sayangnya tangga di stasiun sangat tidak mendukung. Jalan yang harusnya dibuat lega untuk perpindahan antarpenumpang malah dijadikan lokasi tiang beton berukuran besar.
Alhasil, ketika penumpang harus bergeser untuk cepat-cepat naik kereta, yang terjadi adalah saling desak-desakan karena ruang yang terbatas. Jalan untuk penumpang yang seharusnya lega malah tertutup tiang. Aneh memang, siapa yang merancang pembangunan Stasiun Manggarai?
Padahal dengan jumlah penumpang mencapai ribuan orang pada pagi atau sore hari, harusnya alur perpindahan dibuat lancar tanpa hambatan sama sekali. Yang terjadi di Stasiun Manggarai, malahan jika tidak hati-hati maka penumpang bisa terpeleset jatuh ke area rel kereta.
Sehingga masyarakat dapat dengan mudah menemukan foto penumpang di berbagai media, saling berjubel tidak teratur dan seperti kehabisan napas akibat ruang sempit ketika sedang menunggu kereta. Sampai sini, sangat jelas sekali ada dua masalah pokok yang dikeluhkan.
Pertama, penghapusan rute KRL langsung dari arah Bogor ke Sudirman/Tanah Abang. Kedua, konsep Stasiun Manggarai yang dijadikan stasiun sentral tidak mendukung sama sekali ketika terjadi ledakan jumlah penumpang. Terbukti, setiap harinya di lini masa selalu muncul komplain dari penumpang yang seperti diperlakukan tidak manusia gara-gara hanya ingin mendukung program pemerintah untuk naik transportasi publik.
Kondisi itu tentu tidak bisa menyalahkan PT KCI semata. Ada peran Ditjen Perkeretaapian Kemenhub yang bertanggung jawab dalam membangun sarana dan prasarana kereta, yang membuat kondisi di Stasiun Manggarai hampir selalu chaos setiap harinya.
Ketika suara-suara penumpang seolah dianggap angin lalu malahan Ditjen Perkeretaapian Kemenhub membuat kebijakan konyol dengan memajang tanda 'Love DJKA' di Stasiun Manggarai, meski sekarang sudah diturunkan. Keputusan itu jelas bisa membuat geram para penumpang KRL.
Bukannya membenahi problematika akut yang dirasakan penumpang, pemangku kebijakan seolah tutup mata dan dengan percaya diri memajang nama instansi di lokasi yang menjadi 'pertaruhan bagi penumpang' untuk bisa lekas naik kereta. Dari sini kita belajar, Stasiun Manggarai memang mencerminkan kualitas birokrasi, khususnya yang menangani perkeretaan.
Masalah baru juga bakal muncul karena Pemprov DKI memutuskan membangun LRT Jakarta rute Velodrome-Manggarai. LRT Jakarta diproyeksikan beroperasi pada September 2024. Bisa dibayangkan kondisi penuhnya Stasiun Manggarai jika nanti mendapat limpahan penumpang LRT Jakarta yang transit untuk melanjutkan perjalanan menggunakan KRL di Stasiun Manggarai.
Entah sampai kapan para penumpang harus berkorban ketika naik KRL dan transit di Stasiun Manggarai. Karena naga-naganya hingga dalam waktu dekat, belum ada langkah konkret untuk mengatasi penumpukan penumpang akibat kebijakan penghapusan rute Bogor-Sudirman/Tanah Abang dan pembangunan stasiun yang mempersulit penumpang bergerak berpindah moda.
Semoga penumpang KRL bisa tabah untuk beberapa waktu ke depan.