Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Anies Baswedan bisa bernapas lega setelah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi mendeklarasikan dukungan untuknya sebagai bakal calon presiden (capres). Wajar jika pemenang kontestasi Pilkada DKI 2017 itu sumringah. Sebab, deklarasi kemarin berarti menggenapi syarat minimal kursi parlemen sebesar 20 persen bersama Nasdem dan Demokrat untuk mengusung satu pasangan calon pada Pilpres 2024.
Ia kini bisa selangkah ke depan untuk mulai menyusun strategi pemenangan dengan nyaman setelah kepastian tiket dipegang. Langkah bersama tim dari tiga partai akan mengonsolidasi secepat mungkin dalam penyusunannya. Soal strategi, dalam konteks visi dan program, sebenarnya masih cukup samar untuk didiskusikan. Tetapi kita boleh dan sah menerka cara yang akan dipakai Anies dan timnya.
Stigma sebagai antitesis dari pemerintahan saat ini amat melekat dengan Anies. Sadar atau tidak, predikat itu kian diamplifikasi oleh para pendukung rezim. Tetapi justru inilah yang terlihat sangat ‘dinikmati’ mantan menteri pendidikan pada dua tahun pertama periode awal era Presiden Jokowi itu. Meski tak pernah mengamini, Anies tak pernah menolak. Sekali lagi, karena ia menikmati, sekaligus peluang mengeruk suara besar dari ‘ceruk kekecewaan’.
Cap tersebut kemungkinan justru akan dijadikan strategi utama. Indikasinya gamblang. Pertama, sudah sangat jelas dalam penamaan koalisi. Mereka menyebut diri sebagai Koalisi Perubahan. Tidak perlu ditafsir lagi soal pemilihan diksi ‘perubahan’ itu. Kedua, PKS dan Demokrat yang notabene oposisi kian nyaman mengkritik ragam kebijakan pemerintah sembari menebar harapan bahwa jagonya menawarkan sebuah perubahan.
Semua narasi itu memang masih normatif dan belum meruncing menjadi tawaran konkret. Tetapi, positioning cukup jelas. Artinya, beberapa tawarannya nanti pasti akan mengambil posisi diametral dengan program maupun kebijakan pemerintah saat ini. Inilah yang dilakukan Anies pada Pilkada DKI 2017 ketika mampu mengalahkan Ahok-Djarot, calon gubernur pejawat yang disokong penuh PDIP.
Sebelum berlanjut, jangan lupa pula, Nasdem juga mendukung habis-habisan Ahok saat itu dengan kekuatan penuh Media Group milik Surya Paloh, ketua umum Nasdem. Bahkan pendukung Anies ketika itu mengecam setengah mati pemberitaan yang dinilai timpang dan menyudutkan Anies. Kini, takdir politik mempertemukan mereka.
Salah satu pilihan untuk mengambil sikap berseberangan dengan Ahok saat itu adalah tentang reklamasi Teluk Jakarta. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa sikap menolak reklamasi menjadi daya tarik luar biasa bagi Anies. Penolakan terhadap reklamasi ini menjadi titik balik dalam kaitan dengan elektabilitas pasangan ini. Saya masih ingat betul, ketika berbagai hasil survei menunjukkan delta atau perubahan tingkat keterpilihan yang cukup signifikan pascasikap itu diucapkan. Posisi yang semula berada di dasar dari tiga pasangan calon yang ada, Anies-Sandi perlahan tapi pasti terus menanjak.
Sikap penolakan reklamasi ini adalah antitesis dari pasangan pejawat saat itu, Ahok-Djarot. Sebaliknya, sikap melanjutkan reklamasi ini dibawa Ahok-Djarot dalam kampanye. Yang perlu jadi catatan, ada kasus hukum terkait reklamasi yang bergulir di KPK saat itu. Orang nomor satu pada perusahaan pengembang reklamasi ditersangkakan KPK. Pun anggota DPRD DKI Jakarta terjerat di dalamnya. Anies pun mendapat momentumnya.
Tak hanya itu. Soal penggusuran misalnya. Anies selalu menyentuh isu ini dari sisi kemanusiaan. Ia kerap menyerukan bahwa yang perlu digusur adalah kemiskinan, bukan orang miskin. Jika memang perlu dipindah, harus dilakukan secara manusiawi serta mengedepankan dialog dengan masyarakat. Dia selalu menggunakan diksi ‘penataan’ untuk isu tersebut.
Lepas dari bagaimana realisasi janji tersebut ketika Anies menjabat gubernur DKI, tetapi cara itu menghantam keras calon pejawat Ahok yang pada waktu itu dikesankan sebagai tukang gusur dan keras terhadap wong cilik. Langkah pejawat ‘dimatikan’ dengan strategi ini. Ahok yang selalu bicara legal formal ketika bicara penggusuran, di-counter dengan strategi pendekatan humanis. Cara ini berhasil mengambil simpati publik.
Strategi-strategi seperti ini saya yakin akan kembali digunakan Anies pada kontestasi Pilpres 2024. Sebaliknya, bisa dipastikan jika calon yang diusung PDIP (sendiri atau berkoalisi), nantinya akan mengambil sikap sebagai representasi penerus pemerintahan Jokowi. Soal pilihan isu yang akan dipakai, saya yakin itu sedang digodok timnya Anies dengan api penuh agar cepat matang dan bisa segera disuguhkan.