Oleh : Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Coba luangkan sejenak untuk berselancar di dunia maya. Cari topik soal gagalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 pada 2021 di Indonesia. Penyebabnya, wabah Covid-19 yang merebak.
Perhelatan turnamen sepak bola akbar untuk kelompuk usia itu akhirnya mundur dua tahun menjadi 2023. Namun hampir satu generasi pesepak bola muda Indonesia merasakan kekecewaan mendalam karena gagal berlaga pada ajang bergengsi ini. Secara tradisi, Piala Dunia U-20 menjadi etalase bagi pemain dari negara-negara kelas dunia atau bahkan tiga di sepak bola untuk unjuk kemampuan agar dilirik klub-klub Eropa.
Witan Sulaeman, Pratama Arhan, Elfeandra Dewangga, atau Bagas Kaffa sedikit dari banyak nama yang harus gigit jari tak bisa bermain. Padahal persiapan matang dengan sejumlah pemusatan latihan serta uji coba di dalam dan luar negeri sudah dijalani demi meraih hasil terbaik di negeri sendiri. Namun mahluk kecil tak kasat mata bernama virus SARS-COV2 yang menyebabkan penyakit Covid-19 menggagalkan semua mimpi pesepak bola muda kita.
Saat itu, event olahraga dunia hampir seluruhnya lumpuh. Yang berani menggelar dipastikan memakai protokol yang super ketat. Bisa dibayangkan betapa frustrasinya para pemain timnas muda kita saat itu yang sudah merajut mimpi, tapi kemudian gigit jari, tidak bisa berbuat apa-apa.
Piala Dunia U-20 akhirnya akan digelar di Indonesia. Kali ini dengan generasi berbeda. Di antaranya ada nama Marselino Ferdinan, Hokky Caraka, Ronaldo Kwateh, dan Cahya Supriadi. Mereka siap bertarung pada ajang yang akan berlangsung mulai 20 Mei 2023 sampai 11 Juni 2023.
Di tengah persiapan ajang di depan mata, saya yakin sebagian penggawa Garuda Nusantara tengah harap-harap cemas. Sebab, Piala Dunia U-20 kali ini tengah diusik oleh lolosnya Israel sebagai salah satu kontestan. Negara penjajah Palestina ini menjadi runner-up dalam Kejuaraan Eropa U-19 pada tahun lalu sehingga berhak berlaga di Indonesia pada pertengahan tahun ini.
Penolakan terhadap kedatangan Israel bermunculan. Umumnya dari luar lingkup olahraga. Sebab mayoritas stakeholder olahraga, khususnya sepak bola, paham bahwa Indonesia hanya menjalankan kesepakatan dengan FIFA selaku pemilik event Piala Dunia U-20. Indonesia wajib menyambut seluruh kontestan, terlepas dari faktor lain di luar aspek olahraga, misalnya politik. Apalagi sebelumnya atlet Israel juga pernah berlaga di kejuaraan Dunia Bulu Tangkis dan Balap Sepeda di Jakarta, tanpa ribut-ribut atau penolakan.
Ada gubernur dan segelintir tokoh dari partai politik yang menyampaikan penolakan dengan alasan kebijakan politik Israel terhadap Palestina tidak sesuai dengan kebijakan politik pemerintahan Republik Indonesia. Selain itu, tidak adanya hubungan diplomatik antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Israel.
Namun anehnya, mereka tutup mata soal ini ketika Bali menjadi tuan rumah pertemuan Inter-Parliamentary Union (IPU), sebuah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1889 untuk mempromosikan kerja sama antara parlemen negara-negara dunia, tepat setahun lalu. Ketika itu, anggota Knesset (Parlemen) Israel Avi Ditcher dan Nira Sphak menghadiri sidang IPU ke-144 di Nusa Dua, Bali.
Waktu itu, Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon menegaskan komitmen Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina saat diminta menanggapi kehadiran delegasi Israel.
Fadli menjelaskan, secara aturan, seluruh anggota IPU diundang untuk hadir. Indonesia sebagai tuan rumah pelaksana acara IPU, kata dia, wajib memberikan visa untuk para delegasi anggota IPU, termasuk Israel. Namun, kata dia, bukan berarti Indonesia mendukung Israel.
"Indonesia tetap berkomitmen bahwa kita mendukung kemerdekaan Palestina dan menolak normalisasi hubungan dengan agresor, Israel dalam hal ini," kata Fadli kala itu, seperti saya kutip dalam salah satu berita yang terbit setahun lalu.
Namun ketika bicara Piala Dunia U-20, pemahaman bahwa Indonesia sebagai tuan rumah hanya menjalankan acara FIFA, seperti halnya Indonesia dan parlemen kita hanya menjalankan kewajiban acara IPU, anehnya tidak diterima.
Ada juga elemen lain dari masyarakat yang meminta Indonesia tegas kepada FIFA. Mereka merujuk kepada sikap Qatar yang dipuji karena tegas menolak penjualan minuman beralkohol di stadion selama Piala Dunia 2022. Namun, mereka lupa (atau enggan?) merujuk fakta bahwa untuk pertama kalinya Qatar membuka penerbangan dari Israel ke negara mereka khusus Piala Dunia 2022. Padahal kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik.
Orang Israel biasanya tidak dapat mengunjungi Qatar. Namun sebagai bagian dari kesepakatan dengan FIFA untuk menjadi tuan rumah turnamen tersebut, negara Teluk tersebut harus mengizinkan warga Israel masuk. Penerbangan bersejarah itu tercipta pada 20 November ketika maskapai Siprus, Tus Airways, membawa 180 penumpang dari Ben Gurion International Airport, Tel Aviv, menuju Qatar.
Bayangkan, meskipun timnas Israel tak berlaga di Piala Dunia 2022, Qatar harus tetap membuka diri terhadap warga Israel yang ingin menyaksikan langsung pertandingan ke negeri minyak ini. Dan, tuan rumah tunduk karena itu sudah menjadi kesepakatan sejak awal sebagai bagian dari host country.
Saat saya menulis ini, para pengamat dan tokoh sepak bola Tanah Air baru saja menyampaikan pernyataan keras yang mengingatkan risiko dari penolakan terhadap Israel berlaga di Piala Dunia U-20 Indonesia.
Saya sendiri tak bisa membayangkan betapa kecewanya para pemain yang sudah berlatih mati-matian agar terpilih masuk skuad timnas U-20 andai sesuatu terjadi pada penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Kesempatan sekali seumur hidup bisa sirna bukan karena force majeur, seperti dua tahun lalu, tapi lebih karena aspek lain di luar olahraga.
Jujur, saya makin bertambah tak berani membayangkan multiplier effect bagi stakeholder sepak bola Tanah Air andai "terjadi apa-apa" pada Piala Dunia U-20 di Indonesia. Jika Indonesia mendapatkan konsekuensi tegas dari FIFA, pihak-pihak yang menyuarakan penolakan itu pasti tak bisa dimintai pertanggungjawabannya atas nasib orang-orang yang mencari makan dari sepak bola.