Oleh : Edy Sutriono, Economist, Alumnus Universitas Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, Kegagalan Silicon Valley Bank (SVB), salah satu bank besar di USA yang fokus pada sektor teknologi, menyadarkan kembali pentingnya pengelolaan likuiditas. SVB memiliki deposit nasabah dengan nilai lebih dari 198 miliar dolar AS yang rata-rata di atas batas penjaminan The Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) sebesar 250.000 dolar AS. Likuiditas besar SVB tidak sepenuhnya tersalur ke kredit dan sebagian besar ditempatkan di Treasury and Mortgage Bonds jangka panjang.
Kepanikan SVB berawal dari salah satu deposan besar perusahaan crypto yang menarik deposito dalam jumlah besar. Untuk memenuhi likuiditas tersebut menyebabkan bank harus menjual bond senilai 21 miliar dolar AS, tetapi dengan kerugian mencapai 1,8 miliar dolar AS. Upaya mencari pendanaan untuk menutup balance sheet gagal dilakukan dan justru memicu “bank run”.
Meskipun basis investor SVB tidak terlalu luas, namun kegagalan mereka tetap menimbulkan kekhawatiran contagion risk. Kejadian pada SVB dikhawatirkan memicu gelombang distrust pada bank dengan basis investor yang segmented dan akhirnya berdampak pada sektor keuangan secara luas.
Lembaga penjaminan FDIC melakukan strategi penanganan dengan mengambil kendali SVB dan menjamin semua simpanannya di luar batas penjaminan normal. Sementara The Fed mengumumkan kebijakan baru lending facility yang dapat digunakan perbankan untuk memenuhi likuiditas dengan menggunakan agunan seperti obligasi pemerintah yang akan dinilai pada face value.
Lending facility ini berbeda dari yang diberikan pada 2008 karena underlying jaminan berupa treasury bond, bukan asset bermasalah seperti bad loans atau produk derivatif sehingga diharapkan tidak membebani taxpayers money. Namun paket langkah penanganan ini menurut penulis akan menimbulkan preseden bahwa sebesar apa pun simpanan nasabah akan menuntut dijamin oleh otoritas ketika terjadi krisis.
Penanganan Perbankan dan Implementasi UU P2SK
Penanganan permasalahan Bank dalam UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) dikoordinasikan oleh otoritas Bank Indonesia, OJK, dan LPS dengan mengikutsertakan Sekretariat KSSK. OJK mengatur dan menetapkan status pengawasan bank yang terdiri dari bank dalam pengawasan normal, bank dalam penyehatan, dan bank dalam resolusi. Untuk status bank dalam pengawasan normal dan dalam penyehatan, OJK berwenang untuk menetapkan serangkaian langkah penyehatan dengan berkoordinasi dengan LPS.
Dalam hal bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau bank dalam penyehatan, OJK mengambil alih pengelolaan bank dan menunjuk pengelola statute. Dalam hal langkah penyehatan untuk bank dengan status bank dalam pengawasan normal, bank dalam penyehatan tidak berhasil, maka OJK menetapkan status bank dalam resolusi, selanjutnya OJK meminta penyelenggaraan rapat KSSK untuk melaporkan penetapan Bank Sistemik sebagai bank dalam resolusi.
KSSK mengoordinasikan langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan/atau Ketua Dewan Komisioner OJK sesuai dengan wewenang masing-masing, untuk mendukung tindakan resolusi LPS kepada Bank Sistemik. Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.
Selain fasilitas pinjaman likuiditas jangka pendek, ada fasilitas penempatan dana oleh LPS. Namun upaya penanganan permasalahan bank dalam UU PPSK belum mengakomodir extraordinary condition, seperti misalnya harus melakukan penjaminan untuk deposito diatas batas yg dijamin LPS sebagaimana yang dilakukan FDIC.
Kondisi Domestik, Antisipasi dan Pelajaran dari SVB
Kondisi masyarakat masih relatif stabil dengan isu yang terjadi di USA dan tidak berdampak secara langsung terhadap pasar saham di Indonesia. Kondisi likuiditas perbankan relatif stabil dengan rata rata LDR masih di kisaran 79 persen yang menunjukkan level aman jauh di bawah 92 persen dan CAR di angka 25,68 persen. Demikian pula dengan NPL per Desember 2022 masih terjaga di 2,44 persen masih jauh di bawah 5 persen.
Berkaca dari kegagalan SVB, kondisi performa perbankan Indonesia yang relatif stabil ini tetap perlu dimitigasi oleh otoritas yang berwenang. OJK perlu melakukan pemantauan likuiditas yang lebih ketat pasca pandemi akibat selesainya kebijakan restrukturisasi. Perlu update regulasi terkait manajemen risiko perbankan, khususnya dalam hal pengelolaan portofolio perbankan.
Di sisi lain Bank Indonesia perlu menjaga kenaikan suku bunga acuan agar tidak meningkat secara ekstrem sehingga dampak terhadap kenaikan yield tidak berdampak terhadap potensi penurunan harga obligasi secara signifikan mengingat perbankan di Indonesia merupakan pemegang SBN terbesar.
Sementara itu pemerintah perlu melakukan pemantauan terhadap pergerakan shifting transaksi SBN yang dilakukan perbankan. Jika terdapat penjualan secara massif atas SBN yang dimiliki perbankan perlu untuk melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia.
Dalam hal kejadian yang sama dengan SVB terjadi dan untuk mencegah contagion effect maka otoritas harus memberikan respon cepat kebijakan dan regulasi penanganan di luar dari ketentuan yang berlaku. Keputusan otoritas dalam memberikan program penjaminan untuk seluruh deposito, tanpa melihat batas simpanan rawan menimbulkan moral hazard dan perlu dihindari.
Dalam kondisi terjadi kenaikan yield yang cukup signifikan, bank perlu instrumen untuk mengkonversi SBN yang dimiliki menjadi alat likuiditas tanpa merealized rugi pada SBN. Instrumen Reverse Repo Pemerintah melalui Treasury Dealing Room manajemen kas pemerintah akan sangat berguna bagi perbankan.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi tempat penulis bekerja.