Ahad 02 Apr 2023 02:31 WIB

Ketika Pabrikan Jepang Terlihat Ogah-Ogahan Garap Mobil Listrik

Japan automaker mungkin belum melihat kebutuhan pasar yang significant terhadap EV.

Untuk kendaraan listrik, produsen asal Jepang, seperti Toyota, Honda, Nissan, Suzuki dan Daihatsu tampaknya tidak terlalu tertarik ikut serta dalam mengejar industri mobil listrik.
Foto: Tim Infografis
Untuk kendaraan listrik, produsen asal Jepang, seperti Toyota, Honda, Nissan, Suzuki dan Daihatsu tampaknya tidak terlalu tertarik ikut serta dalam mengejar industri mobil listrik.

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Pemerintah akhirnya mengumumkan implementasi subsidi listrik bagi pembelian mobil dan motor listrik atau Electric Vehicle (EV) berbasis baterai. Pemerintah pun mengusulkan beberapa nama Agen Tunggal Pemegang Merek yang layak dapat subsidi.

Kelayakan itu dilihat dari jenis kendaraan telah memenuhi nilai TKDN (tingkat kandungan dalam negeri) 40 persen yang disyaratkan dalam skema bantuan. Nama untuk kendaraan motor adalah Volta, Gesit dan Selis sementara mobil hanya dua, itu Wuling dan Hyundai lewat Ioniq 5.

Pemerintah menyebut bantuan insentif kendaraan listrik diberikan ke konsumen lewat produsen kendaraan listrik. Maka setelah produsen mendaftarkan jenis kendaraan listrik, produsen tersebut juga mendaftarkan ke pemerintah jenis kendaraan yang akan dimasukkan dalam program ini.

Dari lima nama perusahaan beserta kendaraan listrik di atas tampaknya pabrikan asal Jepang, yang mendominasi pasar kendaraan bermotor Indonesia, sama sekali tidak ada. Padahal beberapa tahun lalu, ketika Pemerintah memberikan subsidi PPnBM bagi kendaraan low cost green car, langsung disambut positif oleh produsen asal Jepang.

Hanya saja kali ini, untuk kendaraan listrik, produsen asal Jepang, seperti Toyota, Honda, Nissan, Suzuki dan Daihatsu tampaknya tidak terlalu tertarik ikut serta dalam mengejar industri mobil listrik. Bahkan bila ditilik secara global, memang raksasa Toyota, Honda dan Nissan tidak terlalu gencar memasarkan produk mobil listrik.

Malah tahun lalu, Suzuki menghadirkan low MPV berteknologi hybrid, yaitu All New Ertiga Smart Hybrid. Sementara untuk kendaraan listriknya, misalnya Nissan dengan Leaf juga tampak adem ayem saja. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?

Terkait hal ini sebenarnya Mantan Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Arcandra Tahar pernah memprediksi alasan produsen Jepang terkesan lamban menelurkan produk listrik. Lewat akun instagramnya, Archandra menyebut ketika automaker dunia berlomba-lomba untuk merancang mobil listrik (EV) yang paling efisien dengan harga terjangkau, industri automaker dan regulator di Jepang seolah tidak berminat untuk ikut dalam kompetisi ini.

Sebagai market leader di dunia, ungkap Arcandra, Toyota dan Honda belum terlihat serius untuk bertanding di bidang EV. Nissan, lewat the Leaf, sudah sempat masuk dalam kompetisi sejak sepuluh tahun lalu dan berhasil menjual lebih dari setengah juta unit hingga tahun lalu.

Namun angka penjualan Leaf itu hampir sama dengan penjualan Tesla hanya di tahun 2020 saja. Apalagi bila bicara teknologi dan inovasi, Jepang dianggap yang paling maju, lalu kenapa giliran teknologi internal combustion engine (ICE) vehicle, Jepang malah tertinggal?

Arcandra pun menyebut ada lima hal yang kemungkinan membuat Jepang tampak ogah-ogahan di segmen EV. Pertama, Japan automaker mungkin belum percaya bahwa EV merupakan solusi terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas buang.

Menurut mereka, mobil dengan kombinasi gasoline dan electric (hybrid) yang harus didorong dalam masa transisi dari mobil berbahan bakar fosil ke EV. Dengan strategi ini banyak sekali dana yang sudah dikeluarkan untuk mengembangkan mobil hybrid di Jepang dan investasi ini perlu waktu mengembalikannya.

Kedua, Japan automaker mungkin belum melihat kebutuhan pasar yang significant terhadap EV. Untuk diketahui saja, volume penjualan EV kurang dari 3 persen dari total penjualan mobil secara global. Kurangnya minat konsumen terhadap EV ini mungkin disebabkan oleh harganya yang lebih mahal, jarak tempuh yang pendek dan lamanya waktu charging.

Ketiga, Japan automaker sudah agak telat untuk masuk ke gelanggang persaingan. Selain nama nama besar yang sudah bertarung seperti General Motor, Volvo dan Mercedes,  banyak pemain baru yang mulai masuk dan mampu bersaing dengan nama nama besar ini seperti Tesla dan Nio dari China.

Dengan kompetisi yang ketat ini sepertinya susah untuk mendatangkan profit dengan mudah. Oleh karenanya bertahan dengan teknologi hybrid menjadi pilihan yang harus ditempuh oleh Japan automaker.

Keempat, Japan automaker menganggap bahwa EV bukanlah teknologi yang ramah lingkungan kalau sumber energi listrik untuk charging berasal dari bahan bakar fosil. EV hanya memindahkan kontribusi emisi gas buang dari mobil ke pembangkit listrik.

Apalagi pembangkit listrik di pabrik mobilnya juga berasal dari bahan bakar fosil. Dengan alasan ini pula Japan automaker mengembangkan engine dengan bahan bakar hydrogen.

Kelima, pemerintah Jepang mungkin belum siap untuk kehilangan lapangan pekerjaan karena teknologi EV lebih sederhana dan mudah untuk membuatnya. Ekosistem dari supply chain untuk mobil yang berbasis bahan bakar fosil akan hancur yang berakibat kepada ekonomi negara. Jepang kelihatannya sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil aksi.

Dengan lima alasan di atas apakah ada ide atau inovasi lain yang mungkin bisa menjembatani antara EV dan non-EV? Tentu ada. Salah satunya adalah melahirkan mobil listrik dengan genset kecil berbahan bakar gas yang disimpan didalam mobil, sehingga bisa digunakan untuk charging baterai sewaktu diperlukan. Ini untuk menjamin bahwa sumber energi listrik untuk charging baterai berasal dari yang lebih ramah lingkungan.

Soal penggunaan kendaraan gas ini sebenarnya sempat didorong Pemerintah Indonesia. Bila kita mengingat, angkutan umum hingga bajaj sempat melakukan konversi ke gas.

Sayangnya, memang untuk gas ini terhalang minimnya lokasi atau infrastruktur untuk lokasi pengisian. Sementara bila listrik, maka lebih mudah karena jaringan atau infrastruktur listrik sudah ada dimana-mana. Selain itu juga bisa menjadi solusi masalah oversupply PLN yang disebut sampai sampai di 7 GW.

Walau tertinggal namun jangan salah, bila kita perhatikan, automaker Jepang lebih memilih bekerja sama, baik riset atau RnD dan pendanaan dengan raksasa besar seperti Mercedez Benz hingga General Motor. Begitu juga dengan ikut sertanya perusahaan nonotomotif seperti Softbank, Sony dan Fuji.

Apalagi Jepang, berdasarkan data Nikkei Asia, memiliki banyak paten kendaraan listrik dalam hal riset dan pengembangan. Sehingga bukan tidak mungkin, dalam beberapa tahun ke depan, kendaraan Jepang, khususnya yang ada di Indonesia, bisa ikut serta masuk di segmen EV.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement