REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aceng Hidayat, Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (Dep. ESL) FEM IPB; Ketua MPW ICMI Orsilsus Bogor Periode 2022-2027
Ramadhan adalah bulan pendidikan. Paket kurikulum yang ditawarkan meliputi tiga pelajaran utama: ibadah puasa; sholat; dan zakat, infak dan shodaqoh (ZIS). Tujuannya, menghasilkan sumber daya manusia unggul (SDMU) yang disebut muttaqin (manusia bertakwa).
Indikator SDMU yang ingin dicapai dengan pendidikan Ramadhan adalah sabar, jujur, disiplin, taat aturan. Indikator ini bisa dicapai dengan ibadah puasa. Indikator lainya, kerendahhatian, kebersamaan dan kepemimpinan yang bisa dicapai dengan ibadah sholat berjamaah (sholat tarawih). Sedangkan ZIS diarahkan untuk mencapai indikator empati, peduli, jiwa sosial dan melayani sesama. Itulah learning outcome (LO) yang menjadi sasaran pendidikan Ramadhan.
Saban tahun setiap Muslim mengikuti proses pendidikan itu. Bahkan ada yang sudah berpuluh-puluh kali mengikutinya. Saya yang saat ini berusia 57 tahun minimal sudah mengikuti pendidikan itu tak kurang dari 44 kali. Jika dihitung sejak akil baligh atau usia 15 tahun, tentu ada yang lebih banyak lagi. Tergantung usianya.
Pandangan kritis penulis, bila setiap tahun indeks keunggulan penulis naik 5 persen saja, mestinya, akumulasi kenaikan indikator itu sudah mencapai 210 persen. Wow, luar biasa. Artinya, harusnya penulis sudah sangat sabar, disipilin, taat aturan, jujur, rendah hati, empati, peduli, dan senang melayani. Namun, faktanya, masih jauh panggang dari api. Karena setiap selesai Ramadhan rasanya sih begini-begini saja, tidak ada perubahan nyata menuju karakter SDMU.
Korupsi dan kedisiplinan
Praktik korupsi di negara kita tercinta semakin merajalela. Pelakunya mereka yang memiliki akses mengelola anggaran, mulai pejabat rendah hingga pejabat tinggi, bahkan banyak menteri, gubernur, bupati/wali kota, kepala desa, dan pejabat eselon 1 hingga 4 masuk bui gara-gara korupsi. Apakah korupsi hanya dilakukan aparatur sipil negara? Tidak juga. Pegawai swasta dan rakyat biasa bisa melakukannya. Bahkan, kas RW, dana arisan atau DKM pun bisa dikorupsi.
Maka banyak pihak menyatakan korupsi di negara kita tercinta sudah menjadi budaya. Esensi korupsi adalah ketidakjujuran, mencuri dengan cara memanipulasi.
Kebiasaan korupsi itu terlihat dari semakin memburuknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Transparency Internasional melaporkan, IPK Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Dari peringkat ke-96 pada 2021 melorot ke peringkat 110 pada 2022.
Di luar korupsi, bangsa kita tercinta juga dikenal memiliki kadar kedisipilnan yang rendah. Budaya antre sulit ditemui. Mereka lebih suka bergerombol berebutan dengan segenap risikonya ketimbang antre dengan sabar.
Coba kita perhatikan di jalanan. Para pengendara baik motor maupun mobil senang sekali saling pepet, saling salip, dari kiri nyelonong ke kanan, dari kanan ke kiri. Belum lagi kebiasaan menentang arus. Tak boleh ada jarak kosong. Lebih baik macet bareng-bareng (tragedy of the commons), daripada sabar dikit demi kelancaran bersama.
Itu hanya dua contoh karekter buruk bangsa Indonesia yang sulit ditolak keberadaannya. Telanjur telah menjadi fakta dan terlalu kasat nyata.
Kesalehan Sosial?
Yang korupsi maupun yang tidak disiplin saya yakin kebanyakan beragama Islam. Karena umat Islam adalah mayoritas di Indonesia yang masih berjumlah sekitar 270 jutaan jiwa. Jika saja dilemparkan sebuah batu pada kerumunan kemacetan, dipastikan bakal kena orang Islam.
Para koruptor maupun yang tidak disiplin tadi mungkin sudah berpuluh kali mengikuti pendidikan Ramadhan seperti saya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang telah mengikuti paket pendidikan lain seperti sholat rutin berjamaah dan ibadah haji/umroh.
Lalu, mengapa pendidikan tadi tidak berhasil menciptakan SDMU yang berdampak pada tercapainya kesalehan sosial? Di mana kesalahannya? Adakah kesalahan dalam pelaksanaan puasanya? Rasa-rasanya sih tidak juga.
Syarat rukunnya sudah dipenuhi. Selama berpuasa menahan diri dari yang membatalkannya. Tidak bicara buruk dan bergosip. Pun berusaha untuk sabar sejak fajar hingga terbenam matahari.
Selama puasa juga diisi dengan baca Alquran, zikir, doa-doa dan shodaqoh. Malamnya, diisi dengan Sholat Tarawih. Bahkan, sepuluh hari terakhir Ramadhan kadang-kadang ikutan iftikaf pula. Mungkin juga pernah dapat Lailatur Qodar.
Substansi puasa
Menjelang Ramadhan tiba, di berbagi masjid dan majelis taklim, ramai dibahas pahala dan kelebihan-kelebihan puasa. Para penceramah menyampaikan pahala ibadah puasa, sholat malam, baca Alquran, shodakoh, dan ampunan Allah. Tawaran ragam reward ini semakin ramai menjelang sepulu hari terakhir karena ada maha reward berupa lailatur qadar. Para penceramah mirip sales mall yang ramai menawarkan produk dengan ragam insentif. Discount harga, beli dua bayar satu, voucher, hadiah, dan lain-lain.
Jujur, saya melaksanakan ibadah sebab iming-iming itu. Merasa banyak dosa lalu banyak istighfar. Merasa sedikit amal lantas mencari amalan berpahala besar. Dan selama bulan Ramadhan peluang itu dibuka. Saya yakin bayak orang beribadah di bulan Ramadhan dengan tujuan seperti itu. Dan itu tidak salah.
Hanya, ibadah seperti itu basisnya masih reward. Kita bersusah payah dan berletih-letih berpuasa karena ingin dapat reward-nya. Puasa semacam inilah sepertinya yang tidak berdampak pada peningkatan kualitas SDMU. Hanya dapat ampunan dan pahalanya (insya Allah). Tapi sasaran puasa menjadi SDMU tidak tercapai.
Lalu, apa substansi ibadah puasa yang bisa menyasar pada learning outcome puasa? Hemat saya, pertama menahan diri (imsak). Selama puasa kita dilatih menahan dari melakukan pekerjaan halal seperti makan dan minum. Menahan untuk tidak berbicara buruk, bergosip, mencaci atau sekedar beradu mulut, apalagi beradu fisik. Apa sejatinya yang kita tahan? Nafsu, keinginan dan pikiran buruk. Sayangnya, ketika Ramadhan selesai, kendali itu lepas, nafsu pun kembali liar seperti kuda keluar dari kandangnya.
Lalu, apa sejatinya kita lakukan agar esensi menahan diri selalu hadir? Hadirnya pikiran, kesadaran dan perasaan Allah mengawasi kita. Kita tidak membatalkan puasa, padahal ada kesempatan dan yakin tidak orang yang melihat. Bukan sebab kita sayang dengan rewardnya, tapi kita sadar, Allah menyaksikan apa pun yang kita lihat. Nah, hemat saya, ibadah puasa selama sebulan mestinya melatih kesadaran ini.
Lalu, kesadaran itu dipelihara selama 11 bulan berikutnya. Saya kira ini yang akan berdampak pada peningkatan kualitas diri. Setiap akan melakukan kesalahan, kedholiman, ketidakadikan dan keburukan lainnya, tertahan, sebab hadirnya kesadaran pengawasan Allah.
Hemat penulis, melatih kesadaran inilah esensi ibadah puasa yang di dalamnya ada unsur kesabaran dan kejujuran, bukan sekadar berburu pahala dan ampunan. Seandainya pendidikan Ramadhan ini dipahami dengan cara seperti ini, lalu dilaksanakan, maka pasti akan ada peningkatan pencapaian indikator SDMU (muttakin), dan kesalehan sosial pun bisa kita gapai.