Oleh : Erik Purnama Putra, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) melakukan perubahan radikal dalam struktur organisasinya. Perubahan organisasi TNI AD besar-besaran terakhir terjadi pada era Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Pada medio 1985, Benny melakukan likuidasi organisasi TNI tiga matra, termasuk hanya menyisakan 10 komando daerah militer (kodam) di Indonesia dari sebelumnya 16 kodam.
Selain itu, struktur organisasi di tingkat Markas Besar ABRI, yaitu komando wilayah gabungan (kowilhan) ikut dilikuidasi. Benny saat itu ingin menciptakan struktur organisasi TNI yang ramping dan efisien.
Setelah berlangsung hampir empat dekade, kini perubahan besar-besaran struktur organisasi TNI, khususnya AD terulang lagi. Kali ini, pimpinan TNI dan matra darat yang sudah mendapat restu dari Menteri Pertahanan (Menhan) Letjen (Purn) Prabowo Subianto Djojohadikusumo bakal merombak total struktur organisasi AD. Kali ini, struktur komando rayon militer (korem) yang bakal menjadi korban.
Saat ini, terdapat 47 korem di seluruh Indonesia. Komandan korem (danrem) tipe A dipimpinan perwira tinggi (pati) bintang satu atau brigadir jenderal (brigjen). Adapun danrem tipe B dipimpin perwira menengah (pamen) melati tiga atau kolonel. Konsekuensi penghapusan korem membuat mereka akan didistribusikan ke seluruh kodam di Indonesia.
Saat ini, baru terdapat 15 kodam di Indonesia, yang semuanya dipimpinan pati bintang dua atau mayjen. Dengan keputusan Menhan Prabowo menyetujui pembentukan kodam di 38 provinsi maka diperlukan setidaknya 23 tiga organisasi baru untuk menjadi kodam. Tentu saja, semuanya tidak dimulai dari nol. Misalnya, korem tipe A yang selama ini berada di provinsi maka statusnya dinaikkan menjadi kodam.
Sebagai contoh, Korem 031/Wira Bima di Pekanbaru, Korem 032/Wirabraja di Padang, dan Korem 033/Wira Pratama yang selama ini berada di bawah komando Kodam I/Bukit Barisan di Medan maka statusnya bisa langsung ditingkatkan. Nantinya, dengan perubahan struktur organisasi dan pembenganan infrastruktur kantor maka ketiga korem itu bisa dengan cepat diubah menjadi kodam. Sehingga berdiri kodam baru yang menaungi Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel), Sumatra Barat (Sumbar), dan Kepulauan Riau Kepri.
Dengan begitu, Kodam Bukit Barisan akan fokus menjaga teritorial Provinsi Sumatra Utara (Sumut) saja. Tiga provinsi yang selama ini di bawah komandonya bakal lepas dan membentuk kodam baru. Adapun komandan korem di tiga provinsi tersebut bisa langsung menjabat sebagai kepala staf kodam (kasdam). Adapun panglima kodam (pangdam) bakal diemban pati bintang dua.
Dengan proses peralihan seperti itu maka reorganisasi dan reevaluasi di lingkungan TNI AD bisa berjalan mulus. Mengapa bisa begitu? Hal itu karena pimpinan TNI AD bisa dengan cepat melikuidasi organisasi korem, untuk selanjutnya diubah menjadi kodam. Apalagi, keberadaan korem sudah ada di seluruh provinsi, di luar provinsi hasil pemekaran di Bumi Cenderawasih.
Lagi pula, kebijakan menghapus korem ini sebenarnya terbilang terlambat. Hal itu lantaran dalam struktur forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda), organisasi yang setara dengan korem di instansi lain sudah lebih dulu lenyap. Misalnya, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) sudah menghapus struktur kepolisian wilayah (polwil) dan kepolisian wilayah kota besar (polwiltabes) pada medio 2010.
Keberadaan polwil dianggap memperpanjang birokrasi. Sehingga, Polri akhirnya menetapkan kepolisian daerah (polda) langsung berkoordinasi dengan kepolisian resort (polres) alias dari tingkat provinsi ke kabupaten/kota.
Begitu juga nantinya ketika korem dihapus maka di lingkungan TNI AD, kodam bisa langsung berkoordinasi dengan komando distrik militer (kodim). Sehingga pangdam tidak perlu lagi melalui danrem untuk berhubungan dengan komandan kodim (dandim). Selain memotong rantai birokrasi juga agar stuktur komando TNI AD mirip dengan pemerintah daerah (pemda) dari provinsi yang dipimpin gubernur dengan kabupaten/kota yang diemban wali kota/bupati.
Yang menjadi catatan di sini adalah tentu saja korem yang berada di bawah kodam dalam satu provinsi. Misalnya, Korem 051/Wijayakarta di Bekasi dan Korem 052/Wijayakrama di Tangerang, yang selama ini berada di bawah Kodam Jaya. Maka konsekuensinya, dua korem yang menjaga teritorial Ibu Kota tersebut harus dihapus. Tentu saja, solusinya danrem maupun kepala staf korem (kasrem) dan kepala seksi (kasi) yang berpangkat kolonel bisa didistribusikan untuk menjabat di kodam baru.
Kendala sebenarnya yang harus diatasi Mabesad adalah pembentukan kodam di Papua. Saat ini, baru terdapat Kodam XVII/Cenderawasih di Jayapura dan Kodam XVIII/Kasuari di Manokwari. Padahal, jumlah provinsi di Papua setelah dimekarkan menjadi enam. Sehingga, diperlukan membentuk kodam di Nabire selaku ibu kota Provinsi Papua Tengah, kodam di Jayawijaya sebagai ibu kota Provinsi Papua Pegunungan, kodam di Merauke selaku ibu kota Provinsi Papua Selatan, dan kodam di Sorong sebagai ibu kota Provinsi Papua Barat Daya.
Solusi tercepat adalah mengubah Korem/Praja Wira Yakhti di Wamena sebagai kodam baru, Korem 173/Praja Vira Braja di Nabire sebagai kodam baru, Korem 174/Anim Ti Waninggap di Merauke dinaikkan statusnya menjadi kodam baru, dan terakhir Korem 181/Praja Vira Tama di Sorong sebagai kodam baru. Dengan melihat dinamika dan proses transisi di lapangan maka sepertinya struktur organisasi baru itu dapat rampung pada 2024.
Selama proses transisi merampungkan pembentukan 38 kodam maka setidaknya bakal ada 23 pangdam dan kasdam baru atau tersedia lowongan 46 jabatan untuk pati bintang dua dan satu. Tapi di sisi lain, posisi danrem bakal dihapus sehingga 47 jabatan bintang satu bakal hilang.
Angka itu termasuk jumlah 121 jabatan yang bakal dihapus di lingkungan TNI AD. Termasuk di dalamnya, penurunan level jabatan, seperti Kepala RSPAD Gatot Subroto dan Komandan Puspomad yang sekarang diemban pati bintang tiga atau letnan jenderal (letjen), diturunkan menjadi pati bintang dua.
Rasionalisasi jabatan itu penting untuk dilakukan lantaran memang memang korps kesehatan (CKM) dan polisi militer (CPM) termasuk bantuan militer (banmin) dengan jumlah personel tidak begitu banyak. Sehingga sangat ideal jika dua jabatan tersebut diduduki pati bintang dua.
Khusus Kepala RSPAD Gatot Subroto diemban letjen memang terasa aneh. Kebijakan pada era Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa itu cukup ganjil lantaran Kepala Pusat Kesehatan Angkatan Darat (Kapuskesad) yang merupakan atasan Kepala RSPAD malah diemban bintang dua.
Adapun bawahannya bintang tiga. Sehingga penghapusan 121 jabatan, termasuk evaluasi dengan menurunkan posisi yang tidak terlalu strategis diemban pati bintang tiga menjadi bintang dua, atau jabatan bintang dua diturunkan ke bintang satu, sudah selayaknya dilakukan.
Sebagai patokan saja, jabatan pangdam, panglima divisi infanteri (pangdivif) Kostrad, atau komandan jenderal (danjen) Kopassus yang membawahi satuan atau personel berjumlah ribuan hanya diemban pati bintang dua. Sehingga jika ada posisi bintang tiga, namun tidak strategis, selayaknya diturunkan menjadi diemban mayjen.
Meski begitu, patut ditunggu dinamika di lapangan. Hal itu lantaran pengembangan organisasi, khususnya hadirnya kodam baru bakal membutuhkan penambahan anggaran operasional bagi TNI AD. Namun, dukungan Menhan Prabowo menjadi kunci bahwa reorganisasi di lingkungan TNI AD sepertinya bakal berjalan mulus.