Oleh : Gita Amanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari belakangan, jagad maya kembali di ramaikan dengan kelakuan pemuka agama yang bikin geleng-geleng kepala. Kali ini kejadiannya menimpa Pemimpin Spiritual Tibet, Dalai Lama.
Dalam video yang ramai beredar, Dalai Lama tampak didatangi seorang bocah laki-laki. Bocah itu meminta untuk diizinkan memeluk Dalai Lama. Namun, tanggapan pemuka agama itu bikin geger.
Sebab Dalai Lama secara tak terduga mencium bibir bocah laki-laki itu. Dan yang bikin banyak masyarakat meradang, saat Dalai Lama menjulurkan lidahnya ke bocah tersebut, dan meminta bocah itu menghisap lidahnya.
Kelakuan Dalai Lama, jelas langsung menuai karmanya. Ia dicaci warganet yang menyaksikan kelakuannya. Meski para pemimpin membela Dalai Lama dengan mengatakan hal itu hanya sekadar candaan.
Tapi candaan macam apa yang dilakukan Pria 87 tahun pada bocah kecil dengan memintanya menghisap lidah? Membayangkannya saja sungguh ngeri.
Kelakuan bejat para pemuka agama ini belakangan jadi hal yang sering sekali terjadi. Atau mungkin karena era digital makan informasi semakin mudah diakses. Hal-hal yang dulu tersembunyi kini dengan mudah menjadi viral.
Di Tanah Air, belum lama ini juga kembali terjadi kasus pencabulan yang dilakukan pengasuh pesantren. Kurang lebih 15 santriwati Pesantren Al-Minhaj Batang diduga menjadi korban pelecehan seksual dalam beberapa tahun terakhir. Wildan Mansuri si pelaku, yang juga pemimpin ponpes, kini sudah diamankan pihak kepolisian. Tapi bayangkan, trauma yang sudah terukir di dalam diri para korban.
Masih hangat kasus di Batang, di Aceh Utara, lagi-lagi 15 siswi SD diduga mengalami kekerasan seksual. Pelakunya tak lain adalah oknum guru agama. Korban masih sangat muda, di rentang usia 7 hingga 12 tahun.
Modus pelaku meminta korban maju ke meja guru untuk mengaji sebelum akhirnya dilecehkan. Pelaku sudah diamankan dengan ancaman hukuman cambuk 200 kali atau denda paling banyak 2.000 gram emas murni atau penjara paling lama 200 bulan atau sekitar 17 tahun penjara.
Sering diangkat di serial dan layar lebar
Isu-isu mengenai pelecehan dan kekerasan seksual sebenarnya sudah sering diangkat ke layar lebar atau serial televisi. Saya jadi ingat beberapa hari lalu, saya nonton film berjudul Qorin. Film keluaran Desember 2022 lalu itu sebenarnya bergenre horor dengan mengangkat kisah soal jin qorin, yakni jin yang menyertai manusia.
Tapi ada isu lebih horor yang diangkat dalam film ini dan relevan dengan banyak kejadian saat ini. Iya, soal kekerasan seksual para pemuka agama kepada murid atau santriwatinya.
Dalam film itu di gambarkan tokoh Ustaz Jaelani yang melakukan pelecehan kepada santriwati-santriwatinya dengan memanfaatkan jin qorin para santri. Dari situ kita bisa melihat sedikit gambaran bagaimana para santriwati itu menghadapi perilaku biadap oknum pemuka agama.
Dengan iming-iming transfer ilmu hingga menuntut keikhlasan dan beragam janji manis lainnya, para santriwati diminta melayani nafsu bejat si ustaz. Dalam film itu juga digambarkan, bagaimana mereka tak berani untuk melapor karena khawatir tak dipercaya. Pun mereka yang berani melapor nyatanya tak mendapat tanggapan dari pihak pesantren.
Saya jadi membayangkan, rasa-rasanya ini benar terjadi pada para korban pelecehan para pemuka agama yang belakangan banyak terjadi. Banyak dari mereka terlalu takut melaporkannya. Khawatir tak dipercaya, belum lagi membayangkan stigma yang nantinya melekat dan beragam ketakutan lain.
Ingat serial Netflix In The Name of God: A Holy Betrayal, yang mengangkat kisah empat sekte kepercayaan di Korea Selatan. Salah satu pemimpin dari empat sekte itu juga ketahuan melakukan pelecehan seksual kepada para pengikutnya. Di serial ini bahkan si pembuat dokumenter sempat mendapat ''serangan dan ancaman'' dari pelaku.
Atau ingat film Spotlight yang meraih enam nominasi Oscar termasuk Film Terbaik. Film ini menyoroti skandal gereja Katolik terkait pelecehan seksual. Dalam film ini pun digambarkan betapa sulitnya para korban mengungkapkan apa yang mereka alami.
Film-film dan serial-serial yang ada tersebut bukan isapan jempol belaka, sebab nyatanya memang banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi dilakukan oknum berkedok pemuka agama. Entah apa yang ada dikepala mereka.
Tapi saya jujur sangat jengkel setiap kali mendengar kasus-kasus pelecehan. Utamanya yang dilakukan mereka yang mengerti agama.
Untuk di dalam negeri misalnya, nampaknya hukuman mati yang dijatuhkan pada, Herry Wirawan, Pemilik Pondok Pesantren yang memperkosa 13 santrinya belum memberikan efek jera. Buktinya hingga saat ini, masih banyak saja oknum-oknum pemuka agama yang melakukan aksi bejat pada santri atau siswinya.
Sementara itu Kementerian Agama (Kemenag) mengklaim sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).
Tapi apakah hukuman yang tepat untuk para pelaku kekerasan atau pelecehan seksual ini? Saya sih setuju hukuman mati atau minimal kebiri. Sebab apa yang mereka lakukan jelas-jelas sudah merusak generasi-generasi penerus bangsa. Menimbulkan trauma yang luar biasa bagi para korban. Dan mereka-mereka itu harusnya orang yang mengerti agama.
Ini tentu bisa merusak kepercayaan masyarakat akan lembaga pendidikan agama atau bahkan pada agama itu sendiri. Memang ini tak bisa dikaitkan dengan agama tertentu. Sebab di agama atau kepercayaan manapun, oknum-oknum bejat ini selalu ada saja.