DODO MURTADO; Humas Kementerian Agama dan Ketua Yayasan Kiai Ali
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah berpuasa sebulan penuh, umat Islam merayakan Idul Fitri atau dalam literasi budaya kita dikenal dengan sebutan Lebaran.
Lebaran memiliki terminologi hampir sama di setiap daerah, bahkan istilah Lebaran sudah dikenal dalam literasi Hindu yang menjadi salah satu agama yang dianut bangsa ini.
Lebaran dalam tradisi Betawi berasal dari kata lebar atau luas. Definisi yang sama dalam bahasa Jawa dan Sunda, lebaran berasal dari kata 'Lebar' yang artinya selesai atau melimpah, dalam bahasa Madura Lober atau tuntas.
Lebar atau lebaran dalam pengertian bahasa daerah tersebut merupakan metafora yang mendeskripsikan wujud berlapang dada dan membuka seluas mungkin ruang keikhlasan meminta maaf dan memaafkan antarsesama selain antarsaudara. Lebaran dalam konteks keindonesiaan dan global menjadi metafor Islam yang rahmatal lilalamin, Lebaran untuk kemanusiaan semesta.
Ramadhan dengan segala definisi, hakikat, tujuannya bermuara pada pencapaian insan taqwa (Al-Baqarah Ayat 183). Taqwa selain memiliki definisi terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, taqwa dalam KBBI dinarasikan bermakna kesalehan hidup.
Kesalehan hidup direpresentasikan dengan spektrum luas, taqwa akan berdimensi luas bila memiliki resonansi positif bagi kemanusiaan yang setiap saatnya berevolusi karena kemajuan peradaban. Taqwa tidak hanya bersifat transenden antar seorang Muslim dengan Tuhan-nya, tapi bagaimana sejauh mungkin menaburkan residu positif secara horisontal bagi kemanusiaan dan maslahat bagi sesama.
Puasa dalam konteks keindonesiaan bersenyawa dengan DNA bangsa ini yang diciptakan Tuhan dalam keragaman, ragam etnik, budaya, bahasa, dan keyakinan. Tidak asing kita lihat, puasa disambut suka cita seluruh masyarakat, bila Allah SWT memberikan janji imbalan berlipat ganda pada setiap amalan dan ibadah seorang Muslim, maka umat lain seakan tidak mau ketinggalan meraih berkah puasa dengan berbagi dan memberikan fasilitas bagi saudara Muslimnya.
Setiap sore, di tepi jalan ada sekelompok masyarakat dengan keyakinan berbeda bergembira memberikan sajian takjil bagi pengguna jalan. Umat Nasrani, Hindu dan Buddha pegawai Kementerian Agama (Kemenag) secara bergilir setiap sore memberikan takjil puasa. Pelangi perbedaan menjadi semakin indah di bulan puasa, Ramadhan seakan menjadi milik dan momentum bersama meraih berkah.
Pun dengan Lebaran, melalui tradisi mudiknya menjadi kenduri massal bangsa ini. Lebaran dan mudik merupakan perjumpaan agama dan budaya yang direkat oleh spiritualisme. Kuntowijoyo mengatakan, agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling memengaruhi (Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, 1991).
Mudik dengan pemaknaan sebagai kesadaran balik dan lebaran sebagai bentuk perayaan kemenangan spiritualitas. Keduanya merupakan perjumpaan yang saling terhubung karena terelasi dengan kecenderungan setiap manusia yang ingin selalu kembali dan mengabarkan kebahagiaan.
Islam, hadir di Nusantara ini di tengah tradisi dan budaya masyarakat yang telah ada, Islam berdialog dan mendekatkan diri dengan khazanah dan kearifan yang sudah hidup (living moderation) di masyarakat. Islam sebagai rahmatal lilalamin, sejak kehadirannya telah bersinergi dengan kearifan budaya lokal dan kemudian menghasilkan Islam yang khas Indonesia yang kemudian dikonsepsikan sebagai sebentuk 'Pribumisasi Islam' ala Gus Dur.
Lebaran dalam khazanah keindonesiaan menjadi perayaan keagamaan inklusif, terbuka dan mencerminkan nilai-nilai moderasi beragama yaitu toleransi, ramah budaya lokal, anti kekerasan, dan komitmen kebangsaan. Lebaran dengan mudiknya telah menjadi khas Indonesia.
Kohesi Spiritual
Mudik dengan arus dan mobilisasi manusia yang masif memberikan resonansi luas secara ekonomi, sosial dan budaya. Pemudik seperti diaspora besar yang kembali setelah bermukim dan menjalani hidup di luar tanah kelahiran.
Mudik sebagai arus balik keinginan untuk kembali selalu ada dalam diri setiap manusia . Mudik dan Lebaran merupakan kohesi spiritual dengan dimensinya masing-masing. Mudik sebagai bentuk esensi kedirian manusia yang ingin kembali pada ruang dan waktu yang telah lalu.
Lebaran sebagai bentuk pengembalian diri agar menjadi suci, keduanya merupakan bentuk kohesi spiritual. Mudik dan lebaran adalah bentuk arus balik manusia pada azalinya.
Seseorang yang meninggalkan kampung halaman ke kota harus berjuang dan bekerja keras meraih kehidupan yang lebih baik, dan kembali (mudik) mengabarkan dan berbagi atas kesuksesan yang diraihnya. Menjadi dan kembali suci, seorang Muslim harus menjalaninya dengan menahan lapar, haus, dan godaan nafsu yang akan membatalkan puasa.
Lebaran dan mudik memberikan nuansa kohesi sosial dan spiritual selain menjadi penantian yang indah karena memberikan kegembiraan massal bangsa ini.
Mudik sebagai pulang sebentar, kesebentaran tersebut harus diartikulasikan dalam kesadaran spiritualitas memanfaatkan waktu yang sedikit untuk memberikan resonansi positif bagi sesama dan lingkungannya.
Lebaran sebagai perayaan kemenangan seorang Muslim harus dirasakan luapannya dalam persaudaraan yang teduh dan kebahagiaan yang dirasakan semua orang tanpa kecuali.