Rabu 26 Apr 2023 00:29 WIB

Kami Pilih Jalur Hukum, Bukan Persekusi yang Tuna Adab

Menempuh jalur hukum sebagai bentuk ketaatan terhadap negara.

Logo Muhammadiyah.
Foto: Wikipedia
Logo Muhammadiyah.

Oleh Mashuri Masyhuda, Komandan Nasional Kokam Tahun 2018

 

REPUBLIKA.CO.ID, Kegaduhan akibat postingan AP Hasanuddin di media sosial bukan masalah sepele yang bisa diselesaikan dengan materai Rp 10 ribu dalam lembar kertas pernyataan maaf.

Ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah dan umat Islam lainnya yang berlebaran 21 April 2023, diakui yang bersangkutan diposting secara sadar. 

Bahkan disertai narasi kebencian selama bertahun-tahun atas perbedaan penentuan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah.(silahkan telusuri postingannya di Facebook Thomas Djamaluddin)  

Ancaman yang didahului ungkapan-ungkapan kebencian dalam waktu cukup lama, tentu tidak bisa dinilai sebagai satu kejadian yang spontan atau emosi sesaat, apalagi dinilai ada gangguan psikologis atau gangguan kejiwaan. 

Baca juga : Peneliti BRIN AP Hasanuddin Ternyata Pandai Berjoget di Tiktok

Mustahil rasanya orang gangguan kejiwaan bisa menyusun diksi permohonan maaf dengan cepat. Konstruksi berpikir AP Hasanuddin sudah mencerminkan "hate speech" di ruang publik. 

Kalau menggunakan cara berpikir AP Hasanuddin yang "anarkis" atas kelakuan dan kegaduhan yang diperbuatnya, yang tidak suka terhadap warga Muhammadiyah yang sering berbeda ijtihadnya dalam menentukan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, kami warga Muhammadiyah atau setidaknya saya sebagai salah satu kader Muhammadiyah sangat beralasan mengawal kasus ini sampai tuntas delik pidananya. 

Mengapa demikian? Ada sejumlah alasan, pertama, saya sebagai kader Muhammadiyah turut bertanggung jawab menjaga muruah persyarikatan Muhammadiyah yang sudah lebih 110 tahun berkhidmat untuk NKRI khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Tanpa membeda-bedakan, siapapun boleh belajar dan berobat di amal usaha Muhammadiyah. 

Kedua, saya sebagai kader Muhammadiyah tentu tidak akan toleran terhadap oknum-oknum seperti AP Hasanuddin yang berani mengancam secara terbuka seluruh warga Muhammadiyah dengan ancaman pembunuhan satu per satu. 

Baca juga : Jadi Warna Hits Saat Lebaran, Ini Cerita di Balik Hijau Sage

Kalau AP Hasanuddin emosional hanya karena perbedaan penentuan 1 Syawal, apakah lantas saya sebagai kader Muhammadiyah tidak boleh emosional saat ada ancaman pembunuhan yang dilakukan secara sadar di ruang publik. 

Ketiga, AP Hasanuddin (APH) yang dalam hal ini memerankan diri sebagai "die hard" Thomas Djamaluddin (TD), keduanya ASN di BRIN, salah satu lembaga negara yang seharusnya netral dan tidak menggunakan jabatannya untuk mendiskriminasi kelompok tertentu yang melakukan ijtihad berdasarkan keyakinannya dalam menjalankan agamanya. 

Sikap keduanya yang cenderung memelihara narasi memaksakan kehendak bahkan melemparkan tuduhan tidak taat pemerintah menegaskan keduanya pongah dan arogan. 

Selama bertahun-tahun "telunjuk" TD ini umumnya diarahkan ke Muhammadiyah dan nyaris tidak menyinggung ormas Islam atau kelompok lain yang juga menggunakan metode Hisab dalam menentukan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah. 

Arogansi mereka berdua harus dilawan dengan tegas dan keras, agar paham bahwa hidup di Indonesia fitrahnya memang ber- Bhineka Tunggal Ika, tidak boleh memaksakan kehendak apalagi mengintimidasi kelompok tertentu. 

Baca juga : Ridwan Kamil Tunggu Rekomendasi MUI Soal Ponpes Al-Zaytun

Tiga alasan itu sangat cukup untuk mengawal ketat kasus ini di ranah hukum, terlebih lagi terhadap oknum-oknum niradab yang mengatasnamakan toleransi padahal sesungguhnya mereka tidak sejalan antara kata dan perbuatannya dalam memahami toleransi.

Kami menempuh jalur hukum sesuai prosedur yang berlaku dan memilih taat atas petunjuk pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir yang mengimbau kami tidak bersikap kerdil dalam pemikiran dan tindakan. 

Kami berusaha menunjukkan adab dan kesantunan dalam menghadapi "perilaku buruk" oknum intelektual yang arogan. 

Menempuh jalur hukum sebagai bentuk ketaatan terhadap negara dan untuk memberi teladan dalam berbangsa. Persekusi bukan pilihan kader-kader Muhammadiyah bukan karena kami takut atau tidak berdaya. 

Pertumpahan darah terlalu mahal harganya hanya untuk mempertahankan ego intelektual seperti narasi AP Hasanuddin. Namun, kami berharap keadilan ditegakkan, Laporan sudah disampaikan kepada Bareskrim Polri dan beberapa polda dan polres. 

Baca juga : Doa Agar Diberikan Kesehatan, Diajarkan Nabi Muhammad SAW

Ancaman pidana atas perbuatan yang bersangkutan harus ditegakkan agar kembali pulih rasa keadilan yang dinodai saat momentum Idul Fitri ini. 

Permohonan maaf TD dan APH jika dicermati masih menyiratkan pembenaran atas pilihan sikapnya. Bagi saya permohonan maaf itu hanya bisa kami terima jika hukum ditegakkan dan keduanya mendapatkan sanksi setimpal. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement