![](https://static.republika.co.id/uploads/images/widget_box/mantan-sekretaris-mohammad-natsir-pendiri-masyumi-lukman-hakiem-di-_190401170402-301.jpg)
Oleh : Lukman Hakiem.Peminat Sejarah, mantan anggota DPR RI dan staf M Natsir
Pesawat BOAC yang membawa AR Baswedan dari Mesir melalui Karaci, Rangoon, Bombay, dan Singapura akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Kemayoran Jakarta. Ketika Baswedan hendak turun dari pesawat, tiba-tiba sejumlah polisi militer Belanda dengan senjata lengkap masuk ke pesawat.
Baswedan terkejut dan agak grogi, karena dia membawa dokumen yang sangat penting dan harus sampai di tangan Presiden Sukarno dengan selamat. Yaitu, perjanjian persahabatan Mesir dan Republik Indonesia dan surat dari Mufti Palestina Amir Said Alhusaeni.
Dalam keadaan yang tidak menentu itu, tiba-tiba Baswedan teringat kepada Haji Agus Salim yang dengan gaya seorang jenderal berbicara: "Baswedan bagi saya tidak penting apakah saudara sampai di tanah air atau tidak, yang penting dokumen-dokumen itu sampai di Indonesia dengan selamat."
Sebelum meninggalkan Kairo, Baswedan lebih dulu menemui pejuang kemerdekaan Maroko yang sedang berada di Mesir, Amir Abdul Karim, untuk berpamitan. Ketika Baswedan berpamitan, Amir Abdul Karim memberi secarik kertas sambil berkata: "Anakku semoga Allah melindungimu dalam perjalanan pulang ke tanah air dan semoga perjuanganmu berhasil. Insya Allah Tuhan yang Mahakuasa akan menolongmu."
Teringat hal itu Baswedan segera meraba kantong bajunya untuk mengambil kertas dan tasbih hadiah dari pahlawan Maroko Amir Abdul Karim. Baswedan segera berdiri dan menenteng tas yang kuncinya tidak pernah bisa dibuka dan membaca tulisan dalam kertas yang ternyata rangkaian doa.