Ahad 30 Apr 2023 09:11 WIB

Mengantisipasi Fenomena Urbanisasi Setelah Idul Fitri

Fenomena urbanisasi setelah Idul Fitri kerap menjadi isu penting.

Arus urbanisasi(ilustrasi).
Foto: Antara/Untung Setiawan
Arus urbanisasi(ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Imami, Pascasarjana Universitas Airlangga

Fenomena urbanisasi setelah Idul Fitri kerap menjadi isu penting yang hingga hari ini dicari jalan solusinya. Mengingat urbanisasi masyarakat dari desa ke kota hampir terjadi setiap tahun dan akan terjadi pada tahun-tahun mendatang. Akan selalu ada orang baru yang melakukan urbanisasi sejalan dengan semakin banyaknya kebutuhan ekonomi.

Baca Juga

Urbanisasi sudah ada sejak zaman Hindia-Belanda. Namun fenomena ini baru meningkat abad 20an ketika kota-kota besar mulai meningkat industralisasinya. Jakarta, yang saat itu bernama Batavia, merupakan tempat singgah masyarakat untuk mencari penghidupan. Bergantinya zaman, tujuan masyarakat melakukan urbanisasi tidak hanya didominasi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Saat ini beberapa kota yang sedang bertumbuh perekonomiannya juga menjadi sasaran masyarakat untuk melakukan urbanisasi.

Fenomena urbanisasi bukan sekadar terjadi di Indonesia yang notabenya sebagai negara berkembang. Di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Jepang, juga banyak masyarakat yang melakukan urbanisasi. Terdapat dampak positif saat masyarakat tersebut melakukan urbanisasi, yakni terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara individual dan juga menjadi penopang dalam pertumbuhan pembangunan kota.

Sayangnya dampak negatif yang terjadi akibat urbanisasi juga cukup besar. Saat kota sudah tidak mampu lagi menopang masyarakat urban, masalah baru pun bermunculan. Masalah tersebut antara lain kemiskinan, kesenjangan, munculnya permukiman kumuh, pengangguran. Alih-alih masyarakat ingin mendapat solusi atas problem di desa, nyatanya banyak diantara mereka yang bertambah problemnya di kota. 

Munculnya Orang Miskin Kota

Menurut Sriyana dalam buku Sosiologi Desa (2020) mengungkapkan jika urbanisasi adalah proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pengertian ini diperkuat Kingsley Davis yang mengatakan urbanisasi adalah peningkatan proporsi jumlah penduduk yang memusatkan diri di wilayah perkotaan.

Beberapa ahli bersepakat bahwa faktor utama terjadinya urbanisasi adalah faktor ekonomi. Selain itu juga kurangnya lapangan pekerjaan, minim sarana dan prasarana, dan minim fasilitas pendidikan maupun pembangunannya di desa. Saat di desa kekurangan, mereka akan beralih ke kota (Berger & Engzwll, 2020).

Faktor penariknya yaitu kota mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Upah  di  kota  jauh  lebih  tinggi,  hiburan  lebih  banyak,  tempat-tempat  wisata  atau bangunan yang lebih banyak dan bagus untuk di kunjugi.

Masyarakat desa banyak mendengar kisah kesuksesan masyarakat yang melakukan urbanisasi (Ma, 2018). Hal ini dipertajam dengan sosiologis masyarakat kita yang setelah mudik ke kampung halaman menceritakan kehidupan kota yang serba cukup, baik, dan meyakinkan jaminan akan masa depan. Meskipun kondisinya tidak demikian.

Penelitian yang dilakukan penulis di salah satu permukiman kumuh di Surabaya pada tahun 2022 melihat, munculnya orang miskin di kota karena mereka ke kota hanya bermodalkan nekat. Ijazah tidak ada, skill kerja tidak mumpuni, dan jejaring yang tidak ada, akhirnya mereka bekerja seadanya. Bahkan mereka harus menghuni permukiman-permukiman liar, illegal, dan kumuh. Permukiman ini terdapat di dekat sungai, di bawah tol jembatan, atau di dekat makam. Bekerjanya pun dalam sektor informal.

Di sisi lain, masyarakat desa tersebut mengalami apa yang dinamakan culture shock, yaitu perasaan di mana seseorang merasa tertekan serta terkejut ketika berhadapan dengan lingkungan dan budaya baru. Menurut Kahl dalam Lauer (2003) pola budaya masyarakat desa yang lebih sosial, tradisional, akan berhadapan dengan masyarakat kota yang lebih individual, dan modern. Perbedaan tersebut bisa menjadi pemicu munculnya orang miskin baru di kota. 

Mengantisipasi Sejak Dini

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020. Persentase tersebut diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035. Sejalan dengan itu, Bank Dunia juga memperkirakan sebanyak 220 juta penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan pada 2045. Jumlah itu setara dengan 70% dari total populasi di tanah air.

Data di atas menunjukkan jika pertumbuhan masyarakat yang akan tinggal di kota akan semakin meningkat. Artinya, urbanisasi masyarakat dari desa ke kota, juga terus berjalan. Terjadinya urbanisasi pasca Idhulfitri sulit rasanya jika dilarang, terlebih pertembuhan ekonomi antara desa dan kota yang belum merata.

Di sisi lain, juga tidak bisa menyalakan sepenuhnya kepada masyarakat yang urbanisasi, karena merekalah pembangunan kota bisa terlaksana. Pekerjaan-pekerjaan informal yang selama ini mereka lakukan, setidaknya membantu dalam pembangunan kota dan keberlanjutan kota.

Melarang masyarakat melakukan urbanisasi selayaknya bukan satu-satunya solusi untuk mengentaskan kemiskinan. Sebab urbanisasi merupakan keniscayaan sejalan dengan terus meningkatnya kebutuhan. Seluruh komponen, baik masyarakat yang akan melakukan urbanisasi dan pemerintahan kota perlu mengantisipasi sejak dini dengan 

kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Masyarakat yang akan melakukan urbanisasi harus menyiapkan segala hal yang terjadi di kota nanti, baik dari sisi ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Agar di kota tidak membuat masalah dan malah menjadi orang miskin baru. Dan bagi pemerintahan kota perlu mengantisipasinya dengan berbagai program yang dibutuhkan masyarakat. Baik pendampingan, bantuan, dan fasilitas kota yang bisa menjadi penunjang kehidupan masyarakat urban. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement