Selasa 02 May 2023 11:16 WIB

May Day: Melawan Budak Berseragam

May Day bermula dari gerakan sosialis Eropa kemudian ke mana-mana.

Para buruh dari Aliansi Buruh Bandung Raya dan mahasiswa menggelar aksi memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day di kawasan Cikapayang, Jl Ir H Djuanda, Kota Bandung, Senin (1/5/2023). Aksi tersebut di antaranya menuntut dicabutnya Omnibus Law UU Cipta Kerja dan upah layak.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Para buruh dari Aliansi Buruh Bandung Raya dan mahasiswa menggelar aksi memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day di kawasan Cikapayang, Jl Ir H Djuanda, Kota Bandung, Senin (1/5/2023). Aksi tersebut di antaranya menuntut dicabutnya Omnibus Law UU Cipta Kerja dan upah layak.

Oleh: Budi Saksono, Peneliti Sosial Keagamaan

Mengapa sekarang setiap tanggal 1 mei diperingati sebagai Hari Buruh atau May Day?

Awalnya, gerakan ini dimulai pada abad ke-19 sebagai respons dari revolusi industri, yang walau teknologi industri sudah lebih mengandalkan mesin mesin canggih pada masa itu, aroma perbudakan masih terasa kental dengan padatnya jam kerja para buruh penyuplai bahan-bahan produksi dan operator mesin-mesin produksi.

Pada 1889, kongres buruh berserikat Eropa mencetuskan tanggal satu Mei sebagai hari turun ke jalan, menuntut buruh dilarang untuk bekerja lebih dari delapan jam sehari. Pada tahun berikutnya, menjadi tradisi rutin kaum buruh dan sosialis, yang bersatu menuntut keadilan hak dan upah dari kaum kapitalis.

Gerakan kaum sosialis Eropa ini juga menjalar ke Amerika dan negeri-negeri jajahan Eropa, termasuk Netherland-Hindie/Hindia-Belanda atau Indonesia.

Buruh-buruh pabrik gula, buruh jawatan kereta api Belanda, buruh tani, dan industri kopi di seluruh Sumatra, Jawa, dan Bali juga buruh-buruh tambang batu bara dan tambang emas yang berserikat.

Di antara kisah yang paling masyhur adalah Suro Pranoto alias Soero Boeldog, pemuda Surabaya yang gemar berkelahi dan peduli pada penderitaan bangsa pribumi. Dia bekerja di bengkel kereta api milik Belanda di Madiun yang ketika dipindah ke Tasikmalaya menemukan jodohnya di sana. Namun, saat istrinya sedang mengandung, ia justru dipenjara Belanda karena terlibat demo buruh, yang pada demo itu ia memukul kepala seorang Belanda hingga pingsan. 

Fatal bagi seorang pribumi saat itu mencederai seorang Belanda yang kedudukannya lebih tinggi di atas pribumi. Maka dibuanglah ia ke Boven Digul dan konon sempat pula dikirim ke Nusakambangan, dan dijadikan manusia rantai untuk kerja paksa ditambang Belanda di Sawahlunto, Sumatra Barat. 

Di sana, ia malah terus menghasut para buruh pribumi untuk terus melakukan aksi-aksi perlawanan para buruh, yang menyebabkan dirinya dibuang ke Digul untuk selamanya lenyap di sana.

Kisahnya jadi inspirasi dalam novel-novel karya Pramoedya dan Pandir Kelana.

Saat ini May Day tetap diperingati para buruh di Indonesia bahkan jadi tanggal merah di kalender resmi karena perjuangan para buruh setiap tahunnya. Namun, tuntutan-tuntutan kenaikan upah setiap tahun terbukti malah memberatkan pihak pengusaha, yang menyebabkan beberapa perusahaan gulung tikar. Akibatnya, malah berimbas pada berkurangnya lapangan kerja bagi para buruh itu sendiri.

Lalu mengapa justru di negara-negara komunis dan sosialis tidak ada peringatan May Day seperti di negara kapitalis model-model Prancis, Korsel, Indonesia, dan Amerika? Ya karena di dalam negeri komunis, kaum buruh sosialis sudah punya level yang setara dalam keadaan, sama rata sama rasa.

Sementara di negeri kapitalis, buruh adalah tenaga perasan walau diberi penampilan berkemeja, berseragam, ataupun berdasi.

Itu karena sejak di sekolah, bangsa ini didoktrin untuk menjadi budak-budak berseragam apa pun pekerjaannya.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement