Sabtu 06 May 2023 13:59 WIB

Hardiknas dan Lonceng Kematian Otonomi Kampus

Campur tangan negara ke otonomi universitas berdampak ke komponen kebebasan akademik.

Cecep Darmawan, Guru Besar UPI dan Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Barat
Foto: Dokumentasi Pribadi
Cecep Darmawan, Guru Besar UPI dan Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Barat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Cecep Darmawan, Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor  Pendidikan Kewarganegaraan UPI

Hari Pendidikan Nasional tahun ini, menjadi momentum penting bagi dunia akademik perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Meski sudah banyak kemajuan yang diraih oleh PT dengan kebijakan Kampus Merdeka, bukan berarti PT tidak menyisakan masalah. Berbagai fenomena, diskursus publik, dan kritik dari para ahli terkait persoalan perguruan tinggi kerap muncul di berbagai media. Mulai dari persoalan birokratisasi kampus yang menempatkan dosen seakan-akan sebagai tenaga administratif, salah tafsir otonomi dan lemahnya tata kelola kampus, disfungsi kampus terhadap problematika masyarakat, defisit guru besar, lemahnya link and match kampus dengan masyarakat, dunia usaha dan dunia kerja, serta minimnya kolaborasi universitas dengan elemen lainnya. Begitu pun dengan beberapa waktu ke belakang kian marak kasus korupsi di perguruan tinggi dan kisruhnya demokrasi internal kampus.

Berbagai problematika di atas pada dasarnya menunjukkan otonomi kampus sedang mengalami defisit dan kemunduran. Padahal di atas kertas, hukum positif negara telah mengatur aspek-aspek otonomi kampus secara imperatif yakni dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Misalnya Pasal 8 UU Dikti diatur terkait bagaimana pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Begitu pun Pasal 62 sampai Pasal 64 UU Dikti mengatur berbagai aspek dan prinsip otonomi perguruan tinggi baik secara akademik maupun nonakademik, untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan tridharma. Bahkan dalam Pasal 65 Ayat (3) diatur secara khusus berbagai keistimewaan kewenangan yang dimiliki perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) dalam penyelenggaraan otonominya. 

Akan tetapi, dalam praktiknya berbagai kewenangan otonomi tersebut masih terkendala. Bahkan kerap tersandera dan tumpang tindih dengan berbagai regulasi dan kebijakan yang inkonsisten. Sebagai contoh ialah dalam aspek otonomi pengelolaan keuangan di PTN BH yang masih bertabrakan dengan rezim peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan.

Gejala Umum di Berbagai Negara

Gejala kemunduran otonomi kampus pun tidak hanya terjadi di negara Indonesia. Hasil penelitian Kirsten Roberts Lyer, Ilyas Saliba, dan Janika Spannagel (2023) dalam bukunya yang berjudul “University Autonomy Decline: Causes, Responses, and Implications for Academic Freedom” menunjukkan penurunan otonomi kampus dengan studi kasus di beberapa negara seperti Bangladesh, India, Mozambik, Polandia, Turki, Brasil, Mesir, dan Rusia. 

Penelitian Kirsten Roberts Lyer, Ilyas Saliba, dan Janika Spannagel (2023) mengungkapkan campur tangan negara terhadap otonomi universitas berdampak pada semua komponen kebebasan akademik. Menurut mereka, campur tangan ini dapat mengooptasi otonomi intelektual universitas dan menciptakan universitas sebagai institusi negara atau pemerintah. Atau dengan kata lain menciptakan birokratisasi di tubuh kampus. 

Penelitian mereka pun menguraikan bentuk-bentuk campur tangan pemerintah terhadap universitas seperti kontrol atas struktur tata kelola internal dan kepemimpinan universitas, sentralisasi negara atas kebijakan dan tata kelola universitas, pengawasan yang berlebihan, pembatasan dalam pendanaan atau pada mata pelajaran yang diajarkan.

Berbagai gejala di atas pada dasarnya telah nampak dalam kehidupan perguruan tinggi di Indonesia. Bisa dilihat dari beberapa polemik ke belakang seperti pembatalan hasil pemilihan rektor dan pembekuan Majelis Wali Amanat (MWA) di salah satu PTN BH, sentralisasi kebijakan, dan salah tafsir otonomi di PTN BH yang harus mandiri dalam aspek finansial dengan minimnya daya dukung anggaran dari pemerintah.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka apa yang dikatakan Peter Fleming (2021) dalam buku provokatifnya berpotensi akan terwujud yakni matinya universitas. Dalam buku “Dark Academia: How Universities Die”, Peter Fleming (2021) menyitir beberapa gejala matinya universitas seperti korporatisasi, komersialisasi, over birokratisasi, munculnya otoritarianisme di kampus, hingga tirani metrik. Apa yang diuraikan oleh Peter Fleming tersebut sejatinya saat ini mulai menggerogoti kampus-kampus sebagai institusi yang otonom. Bahkan jika dibiarkan, kampus-kampus hanya mentereng dari sisi gedung semata tanpa wibawa dan tanpa meninggalkan legacy bagi generasi berikutnya.

Memperkuat Otonomi Kampus

Setidaknya terdapat beberapa upaya untuk memperkuat otonomi kampus. Pertama, kampus tidak boleh terjebak dalam birokratisasi sentralistik. Kampus memiliki tata kelolanya sendiri yang khas sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola universitas yang baik atau good university governance. Untuk itu, sebaiknya biarkan otonomisasi kampus berjalan secara holistik dan komprehensif.

Kedua, para pemangku kepentingan harus meluruskan paradigma otonomi kampus. Otonomi kampus tidak boleh dimaknai dengan lepas tanggung jawab keuangan pemerintah terhadap perguruan tinggi. Sebaliknya, pemerintah harus mendukung secara penuh otonomi kampus misalnya dengan memberikan daya dukung anggaran guna mengakselerasi proses internasionalisasi menuju universitas kelas dunia. Tanggung jawab ini pun tidak bisa ditafsirkan dengan bentuk intervensi terhadap perguruan tinggi. Pemerintah tetap menghormati independensi sebagai bagian dari penyelenggaraan otonomi kampus.

Ketiga, para pemangku kepentingan pun harus memahami kembali fungsi dan peranan perguruan tinggi. Kampus merupakan garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 58 Ayat (1) UU Dikti telah mengatur fungsi dan peranan perguruan tinggi yakni sebagai wadah pembelajaran mahasiswa dan masyarakat, wadah pendidikan calon pemimpin bangsa, pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pusat kajian kebajikan dan kekuatan moral untuk mencari dan menemukan kebenaran, dan pusat pengembangan peradaban bangsa.

Berbagai fungsi dan peranan tersebut dapat terakselerasi manakala otonomi kampus diberikan secara utuh. Demikianlah hakikat kampus sebagai center of excellence atau pusat keunggulan yang memiliki otonomi tersendiri agar mampu melesat mencapai universitas kelas dunia.

Sebagai refleksi Hardiknas kali ini, perlu mengembalikan ghiroh dan marwah kampus dengan penyelenggaraan otonomi secara penuh dan utuh dalam aspek akademik maupun nonakademik. Universitas mesti diposisikan sebagai pusat keunggulan peradaban bangsa. Upaya ini penting agar kampus di tanah air menjadi kampus yang otonom dan mendorong keunggulan di level dunia tanpa kehilangan karakter dan ciri khas keindonesiaan. Tanpa otonomi yang kokoh, maka pada dasarnya kita sedang menabuh lonceng kematian otonomi kampus. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement