REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi, Kepala Humas Laznas BMH Pusat
Zakat di Indonesia kian tumbuh, meningkat, seiring berjalannya waktu. Pada 2023 diperkirakan zakat akan terhimpun dari Rp 6--8 triliun, naik dari tahun sebelumnya yang berkisar Rp 5--6 triliun. Jumlah tersebut bisa diartikan kesadaran masyarakat membayar zakat semakin baik dari waktu ke waktu. Bahkan saat pandemi melanda selama dua tahun, kepedulian masyarakat melalui zakat, infaq dan sedekah tidak surut.
Raihan Baznas bisa jadi catatan bersama. Pada 2020 Baznas menghimpun Rp 386,60 miliar, lalu naik pada 2021 menjadi Rp 516,74 miliar dan terus meningkat pada 2022 menjadi Rp 638,83 miliar. Bisa kita asumsikan bahwa zakat, infak dan sedekah, ibarat tanaman kian subur tumbuh dalam sanubari kaum Muslimin. Bahkan ketika kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi perhatian publik se-Indonesia, kesadaran umat tetap baik, sekalipun terdapat catatan ada penurunan.
Semua itu mengindikasikan umat Islam di Indonesia semakin meningkat kualitas keimanannya. Kalau ditinjau dalam perspektif rukun Islam, itu berarti kesadaran akan kewajiban menjalankan zakat (yang masuk rukun Islam) semakin baik dan itu berarti ke-Islam-an warga negeri ini semakin baik pula.
Pertanyaan berikutnya adalah apa yang selanjutnya harus dilakukan Pemerintah, Baznas maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) lainnya?
Beberapa hal mendasar penting dihadirkan untuk merawat dan menumbuhkan kepercayaan umat yang terus meningkat itu. Pertama, akuntabilitas. Pemerintah dan LAZ harus mampu menghadirkan kinerja yang akuntabel. Penyaluran yang memberikan dampak perubahan harus diutamakan design dan penyajian pelaporannya yang secara empiris bisa dibuktikan kepada semua.
Dengan langkah tersebut, maka publik akan melihat pemerintah dan LAZ mampu mengelola amanah kebaikan umat baik zakat, infak dan sedekah secara profesional dan progresif. Tentu saja dampak perubahan tidak sebatas pembangunan yang sifatnya fisik, tetapi juga pembangunan manusia. Misalnya anak yatim yang dapat zakat, ia tidak saja bisa sekolah di SMP, tetapi meningkat hingga SMA dan sarjana. Jadi akuntabilitas yang harus disiapkan bukan sebatas pada level laporan tahunan yang sifatnya kuantitatif, tetapi juga perubahan jangka menengah dan jangka panjang yang kualitatif sekaligus kuantitatif.
Kedua, mendorong kemajuan penerima manfaat zakat, infak dan sedekah yang lebih progresif. Di mana masyarakat yang tahun ini menerima zakat dalam bidang ekonomi dalam tempo tiga tahun misalnya, telah siap mandiri dan menjadi muzakki. Dengan begitu, percepatan dan perluasan pembangunan manusia secara ekonomi bisa semakin cepat dan luas. Jangan sampai masyarakat yang tahun 2023 dapat bantuan ekonomi dari pemerintah dan Laz, pada 2026 masih tetap menjadi penerima bantuan.
Dalam hal ini inovasi program secara kolektif perlu dihadirkan. Bahkan kalau perlu pemerintah bisa memfasilitasi agar indeks pembangunan manusia dapat didorong percepatannya oleh dana zakat itu sendiri.
Ketiga, pemberdayaan media. Harus kita akui zakat masih belum menjadi headline dalam pemberitaan media mainstream Indonesia. Bahkan media-media Islam sekalipun.
Orang bicara zakat masih 30 hari dalam 12 bulan. Sangat tidak memadai. Belum lagi saat Ramadhan, orang bicara zakat lebih sedikit daripada bicara mudik, Lailatul Qadar, dan belanja Lebaran. Tentu itu bukan salah siapa-siapa. Tetapi pemerintah dan Laz akan sangat baik jika memiliki perhatian ke arah tersebut.
Baznas telah melakukan upaya ke sana dengan mengundang jurnalis tarawih bersama, termasuk para pemimpin redaksi media massa. Laznas BMH pun juga melakukan hal yang sama dengan rekan-rekan media.
Targetnya adalah bagaimana media nasional bisa mengupas zakat setiap hari sepanjang tahun dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang. Langkah ini mungkin akan jadikan publik kian dekat dengan term zakat, infak dan sedekah, yang menjadikan literasi zakat kian masif beredar di ruang publik, termasuk media dan media sosial.
Tuntutan
Tiga langkah di atas sebenarnya juga merupakan tuntutan masyarakat, yang kian hari kian kritis. Masyarakat sekarang sangat ingin tahu dan bahkan ingin memantau dana yang telah diamanahkan kepada lembaga resmi kemana dipakai, diberikan kepada siapa dan bagaimana laporannya nanti. Artinya, masyarakat memang menghendaki transparansi sampai pada level yang seterang-terangnya.
Karena itu di balik angka yang terus meningkat dalam penghimpunan zakat, infak dan sedekah, sebenarnya ada tanggung jawab yang kian tidak ringan di pundak pemerintah dan lembaga amil zakat. Kesadaran akan hal ini juga pada akhirnya akan membantu pemerintah dan Laz semakin penuh mendapat kepercayaan umat, sehingga realisasi dari potensi zakat yang mencapai angka 327 triliun, perlahan dapat terus diperpendek bahkan dicapai dengan sangat baik.
Kita patut bersyukur umat Islam Indonesia makin sadar dalam berzakat. Namun sisi lain, kita harus siap bekerja keras dan penuh tanggung jawab menjadikan dana zakat benar-benar menghadirkan perubahan mendasar dan menyeluruh dalam kehidupan umat.