Oleh : Nashih Nasrullah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Mengikuti polemik yang melibatkan peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Thomas Djamaluddin dan AP Hasanuddin yang sebenarnya berpangkal pada perbedaan metode penetapan Idul Fitri 1444 H/ 2023 M, tentu memunculkan perasaan kecewa sekaligus prihatin bagi saya pribadi.
Peristiwa ini menyeret nama yang terakhir dalam persoalan hukum. Kecewa dalam konteks, semestinya kapasitas keduanya sebagai seorang akademisi keduanya mampu membaca dengan baik mana ruang publik dan bagian apa yang seyogianya ditempatkan sebagai ruang privat.
Diskusi-diskusi, kritik, perdebatan atau apapun yang merupakan domain ilmia dan akademis, bila ujung-ujungnya adalah kontraproduktif tak perlu menjadi santapan untuk khalayak umum. Apalagi jika sudah disertai sentimen atau, naudzubillah, ‘dendam’ pribadi.
Prihatin, sebab saya haqqul yaqin, kita sesama Muslim, yang dilahirkan dari rahim ibu pertiwi satu tak menginginkan bersemainya kebencian. Bahwa ada perbedaan itu wajar dan alamiah. Tapi dalam konteks saling menyerang dan menjatuhkan, itu sudah keluar dari identitas kita sebagai Muslim Indonesia. Muslim yang dikenal ramah, with smiling face, begitu tulis Prof Azyumardi Azra.
Saya sendiri mengenal Prof Thomas Djamaluddin, sejak ditugaskan Republika untuk pos peliputan ormas Islam dan isu-isu keagamaan. Prof Thomas, begitu saya memanggil beliau adalah narasumber langganan, bukan saja karena basic keilmuan dan kompetensinya ketika itu sebagai peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN ) tetapi juga respons cepat ketika dimintai konfirmasi wawancara. Perkara yang dinantikan jurnalis manapun.
Saya tak ingin berprasangka lebih jauh, mengapa, jika dibaca dari akun media sosial Prof Thomas atau pernyataannya di media, masih terkesan melakukan ‘serangan’ terhadap apa yang diyakini saudara-saudara Muhammadiyah kita.
Lagi-lagi, jika maksudnya kritik atau keperluan ilmiah, media sosial atau media massa bukanlah ruang yang tepat. Ia terbatas dengan karakter, space, dan durasi. Sampaikan saja secara langsung dalam forum resmi atau diskusi terbatas, itu lebih terhormat dan elegan. Kami sebagai orang awam, sebenarnya tidak memerlukan penjelasan yang begitu detail, saintis dan sangat teknis. Itu adalah domain ulama. Tugas kami sebagai orang awam, yang hanya mengikuti apa yang menjadi keputusan hakim (dalam konteks negara), ulama (dalam konteks pribadi) atau ormas Islam (dalam konteks bermanhaj).
Selebihnya, urusan-urusan yang selama ini dilegitimasi sedemikian rupa sebagai kritik, kami tak butuh. Cek saja di akar rumput, betapa umat di akar rumput sudah terbiasa lebaran berbeda. Tak sedikit bahkan dalam satu keluarga, suami, istri, dan anak bisa berbeda lebaran. Mereka baik-baik saja. Negara aman-aman saja. Silaturahim tetap jalan. Kita masih riang gembira menyambut Idul Fitri. Apalagi coba.
Letakkan saja yang menjadi pilihan saudara-saudara kita di Muhammadiyah dalam bermanhaj, sebagai sebuah ijtihad. Yang oleh Imam al-Ashafani dalam kitabnya al-Fushul fi al-Ushul, disebut bahwa dalam kerangka ijtihad benar atau salah bisa dipahami sebagai upaya yang patut dimaklumi. Jika benar tentu dapat pahala, dan jika salah, seorang mujtahid (dalam konteks lokalitas Indonesia seperti ormas Islam adalah ijtihad kolektif) tidak dihukumi berdosa. Kita tak perlu ngotot untuk memaksakan akseptabilitas pendapat tertentu dengan pretensi apapun.
Sederhana aja pesan Imam as-Syafii, pendapat seseorang berpotensi salah dan benar, demikian juga pendapat yang saya amini, memuat probabilitas keduanya. Bisa jadi salah, juga mungkin saja benar. Tak perlu menghakimi salah satu pihak apalagi terus memojokkan kelompok yang berbeda dengan beragam kalimat nyinyir.
Saya kira Prof Thomas sudah paham dengan batas-batas demikian....