Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Setelah sebulan pernyataannya menjadi polemik, duo peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhirnya mendapatkan sanksinya. Thomas Djamaluddin yang mempersoalkan perbedaan penentuan 1 Syawal diberi sanksi moral, yakni harus meminta maaf secara terbuka dan tertulis. Sementara itu, Andi Pangerang yang telah menjadi tersangka ujaran kebencian karena "halalkan darah Muhammadiyah" diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil. Pemberhentiannya kini tengah diproses.
Kasus ini sebetulnya mencerminkan minimnya etika bermedia sosial di berbagai lapisan masyarakat penggunanya. Gara-gara tidak bijak dalam mengungkapkan isi pikiran di medsos, kegaduhan pun timbul dan fatal akibatnya.
Sebagai peneliti senior BRIN, Thomas jauh dari kesan bijak ketika memaksakan pemikirannya soal penyeragaman 1 Syawal. Sementara Andi yang lebih junior, masih gegabah, gampang sambat kalau kata anak zaman now.
Yang luput dipertimbangkan ialah dunia maya tak terlalu berbeda dengan dunia nyata. Adagium "mulutmu harimaumu" berlaku di kedua dunia.
Di tahun-tahun politik, orang-orang yang tak mampu menyaring informasi, asal bunyi, atau gampang tantrum biasanya bermunculan. Mereka ibarat "menggali kuburan sendiri".
Kembali berkaca dari kasus BRIN, ketika di kalangan orang berilmu saja, media sosial masih bisa membuat tergelincir, jangan heran jika masyarakat awam juga banyak yang kepeleset. Risikonya teramat besar ketika itu terjadi pada anak dan remaja.
Teranyar, korbannya ialah anak pj gubernur Papua Pegunungan. Remaja putri itu meninggal dunia setelah mengiyakan ajakan bertemu dari kenalan barunya di media sosial.
Dia sempat minum miras dan diperkosa kenalannya sebelum muntah-muntah, kejang, dan meninggal. Keluarga mana yang tidak pilu kehilangan anaknya seperti itu.
Kasus tersebut harus menjadi pengingat bagi semua orang tua agar lebih dekat dan hadir untuk anaknya. Media sosial bisa seperti rimba berisikan predator yang menyulap penampilannya menjadi sosok yang membuat anak nyaman dan percaya kepadanya.
Kenalan di media sosial seharusnya tetap diperlakukan sebagai orang asing ketika dia mengajak kopi darat. Artinya, anak tak boleh bertemu sendirian dan lokasi pertemuan harus berada di ruang publik. Jangan sampai anak pergi sendirian dan menuruti ajakan bertemu di ruang privat seperti kamar indekos.
Seruan terbaru
Anak-anak juga perlu diingatkan untuk tidak sembarang mengunggah apa pun ke media sosial, apalagi identitas pribadi. Lalu, mereka juga perlu membatasi akses agar tidak sampai dilanda depresi, gangguan makan, gangguan tidur, kecemasan, hingga harga diri yang rendah karena terfiksasi dengan media sosial.
Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat untuk panduan aman penggunaan media sosial. Beberapa waktu lalu, Surgeon General Dr Vivek Murthy merilis rekomendasi yang mengarahkan warga untuk memperbaiki koneksi sosial serta dalam konteks efek negatif media sosial terhadap anak dan remaja. Media sosial memang telah menjadi bagian dari kehidupan intrapersonal dan cara anak serta remaja masa kini mengekspresikan diri.
Alih-alih melarang 100 persen, batasan harus dibuat. Terlebih, 95 persen anak dan remaja usia 13 sampai 17 tahun di AS menggunakan media sosial dan sepertiganya main medsos nyaris sepanjang waktu.
Menyikapi hal tersebut, Surgeon General mengingatkan pentingnya standar keamanan dan pembatasan yang lebih ketat, perlindungan terhadap privasi anak, dan pemblokiran serta pelaporan konten yang tak sesuai atau membahayakan. Orang tua juga perlu menetapkan zona bebas gawai di rumah.