Oleh : Erdy Nasrul, Jurnalis Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Gedung Baytus Syukri Pesantren Al-Ikhlas, Taliwang, Sumbawa Barat, tampak berbeda. Di dalamnya terdapat tamu para ulama pengasuh pesantren di Pulau Sumatra dan Jawa. Mereka duduk bersama menjalin keakraban.
Dalam suasana itu, Pendiri Pesantren Al-Ikhlas KH Zulkifli Muhadli menceritakan sebuah kejadian pada tahun 90-an. Bukan peristiwa nasional, tapi peristiwa itu sungguh sarat nilai.
Ketika itu Kiai Zul bersusah payah melakukan perjalanan dari Taliwang Sumbawa Besar menuju Jakarta. Sampai di Ibu Kota, pendakwah itu menuju rumah mantan perdana menteri Indonesia Mohammad Natsir (1908-1993).
Tangannya menggenggam berkas proposal. Dia berjalan menuju rumah tokoh nasional tersebut. Namun begitu tiba di sana, badannya mendadak lesu, karena membaca selembar pengumuman. Isinya permohonan maaf, karena Natsir sedang sakit dan harus beristirahat.
“Ya Allah, saya sudah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan, tapi ketika sampai di sini, saya tak bisa menemukan Pak Natsir,” kata Kiai Zul dalam hatinya.
Dia terdiam. Meski sudah ada pemberitahuan tadi, Zul tetap berada di sana. Dia menunggu sambil berharap keajaiban dapat bertemu Pak Natsir.
Beberapa waktu kemudian pintu di rumah itu terbuka. Bu Natsir yang berbadan kurus berambut putih keluar menampakkan diri. “Mau mencari bapak?” kata ibu. Zul langsung mengiyakan. Bu Natsir meminta Zul menunggu.
Beberapa menit kemudian tokoh pemersatu seluruh kawasan Indonesia itu keluar menampakkan dirinya dengan baju yang sobek-sobek. “Saya menyaksikan sendiri Pak Natsir, inisiator mosi integral itu, tokoh nasional, mantan perdana menteri, orang yang berjasa besar untuk negeri ini, tapi mengenakan pakaian yang sobek-sobek,” kata Zul sedikit menangis di hadapan para kiai dan puluhan mahasiswa Universitas Cordova, Taliwang, Sumbawa Besar.
Ada beberapa pelajaran penting dari Kiai Zul mengisahkan pertemuannya dengan Natsir di atas. Pertama, sang tokoh nasional itu tak terpesona dengan keduniaan. Sehebat apa pun, bagaimana pun besarnya dan agungnya dunia, yang dihadapi, Natsir lebih memilih mencampakkan dunia. Dia lebih memilih hidup dalam keterbatasan. Seadanya.
Hidup seadanya bukan berarti terbatas. Sama sekali bukan kesempitan. Justru dengan membatasi diri dari kenikmatan dunia, seseorang dapat menikmati kemesraan bersama Allah.
Kita mengetahui kisah para salik seperti Syekh Abu Bakar bin Salim yang dikenal sebagai fakhrul wujud mempermainkan dunia jauh sebelum Natsir ada. Sang alim yang terkenal sebagai Maula ‘Inat ini asyik dalam cinta kepada akhirat dengan banyak menghabiskan waktu berzikir dan beribadah kepada Allah.
Dalam sebuah kisah diceritakan, sebenarnya Syekh Abu Bakar sangat mampu, dengan kuasa Allah, mengubah pasir di ‘Inat menjadi bulir emas. Tapi dia lebih memilih keindahan, ketenangan, dan kebahagiaan bersama Allah.
Seperti Syekh Abu Bakar bin Salim, Natsir juga melakukan hal sama. Tak ada gengsi atau mengikuti trending fesyen keduniaan seperti kebanyakan orang. Dia lebih memilih tampil dengan pakaian seadanya. Dengan cara itu, Natsir mempermainkan, melepas rasa ketergantungan kepada dunia.
Kedua, bukan materi, tapi bekal ilmu dan ketenangan batin yang harus diperkaya. Penampilan Natsir memang biasa saja, tapi pemikirannya, gagasannya, dan jasanya, sungguh luar biasa. Dia merupakan tokoh yang down to earth. Penampilannya sama dengan orang biasa, tapi legasinya dan isi otaknya sungguh luar biasa.
Selain Natsir, kita ingat Mahatma Gandhi yang hanya mengenakan pakaian ala India yang sederhana. Tapi jasanya sungguh luar biasa dalam memerdekakan negeri tersebut.
Ketiga, ini merupakan sesuatu yang harus menjadi pelajaran orang masa kini. Natsir si tokoh yang berjasa besar mempersatukan berbagai wilayah dalam Negara Kesatuan Indonesia, tidak hitung-hitungan. Dia tidak meminta timbal balik dari jasa besarnya.
Seharusnya, jasa yang besar tadi digunakan untuk wasilah mendapatkan proyek besar dengan nilai triliunan. Kemudian keuntungan dari situ digunakan untuk membeli rumah mewah, mobil super premium, harta, tahta, dan segala keduniaan. Tapi sekali lagi, bukan begitu cara menjual hal besar.
Natsir tidak menjual gagasan dan kebaikannya kepada makhluk. Sekali lagi, tidak kepada makhluk. Dia menjual jasanya menyatukan negeri ini melalui Mosi Integral, menguatkan simpul-simpul Islam melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), memberdayakan umat, membangun negeri ini dengan politik yang bijaksana, hanya kepada Allah, cukup kepada Allah. Karena itulah jasanya yang sungguh besar: mengakibatkan kita saat ini merasakan kemerdekaan dan menikmati pembangunan, tak berimbang dengan gaya hidupnya yang sederhana berupa pakaian sobek.
Apa yang dia perbuat, persis seperti yang dilakukan para pejuang masa dakwah Nabi Muhammad dahulu. Mereka menjual dirinya kepada Allah (at-Taubah ayat 111). Sebabnya, orang-orang beriman mengetahui, hanya menjual diri kepada Allah, pasti membuahkan keuntungan yang besar. Bukan sekadar materi, tapi batini, ukhrawi, ilahi.
Menjual diri kepada Allah seperti itu menjadi strategis pada tahun politik saat ini dan tahun depan. Mendukung individu dan kelompok politik untuk meramaikan pesta demokrasi 2024 merupakan hal yang pasti terjadi. Tapi jangan melakukan itu dengan maksud untuk mendapatkan proyek dari si pemenang pemilu. Bukan untuk niat mendapatkan timbal balik besar.
Mendukung kelompok dan individu politik harus dilakukan untuk melestarikan politik adiluhung, politik yang penuh kemuliaan. Maksudnya adalah, politik kebangsaan, yang memang sungguh-sungguh untuk membangun negeri dengan tetap menjaga kearifan dan keluhuran. Tetap berpegang kepada iman dan takwa, jauh dari cinta kepada dunia, dan lebur dalam ketenangan dan kedekatan kepada Allah, seperti Natsir yang mempermainkan dunia dengan mengenakan busana seadanya.
Kesederhanaan dan gaya hidup down to earth seperti Natsir, juga kepemimpinan yang dermawan lagi bijaksana, merupakan hal langka pada zaman ini. Zaman banyak orang lebih memilih berderma sedikit, tapi ingin mendapatkan keuntungan 2, 3, 4, dan berkali lipat. Gaya berderma dan upaya mendukung politik yang tak pernah berujung kepada kepuasan. Kemudian menjadi korup dan culas.
Simpul perjuangan berubah menjadi ambisi berebut kuasa. Hati diracuni syahwat dan angkara murka. Setan berubah jadi saudara. Sedangkan saudara yang sebenarnya dianggap petaka yang dijauhkan.
Kondisi semacam itu berujung kepada hidup penuh kehancuran. Hidup yang bergelimang keharaman, penuh harta dan keduniaan, tapi tak membahagiakan. Tak seperti kehidupan Natsir yang mengenakan baju sobek, tapi merasakan jutaan ketenangan batin yang menghadirkan banyak manfaat untuk ratusan juta orang saat ini sampai kiamat nanti.