REPUBLIKA.CO.ID, Oleh A Makmur Makka, Wartawan Senior
Elite adalah mereka yang dalam masyarakat memiliki kekuasaan dan pengaruh. Mereka yang memiliki otoritas dan bisa mengontrol semua sumber daya di dalam masyarakat.
Mereka menentukan kebijakan dan bisa mengarahkan apa saja dalam lembaga-lembaga masyarakat, politik dan sistem ekonomi. Mereka ini sangat sedikit dalam kerucut sebuah masyarakat, tetapi menempati tempat teratas.
Elite politik kita, tipe the founding father bangsa ini, adalah orang-orang pilihan yang langka. Dari elite seperti inilah muncul pemikiran-pemikiran kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan. Hasilnya berupa negara merdeka yang kita kecap sekarang ini.
Tetapi ketika Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, dan pemerintahan sudah terbentuk, para elite ini mulai berbenturan ideologi dan kepentingan. Masing-masing sudah muncul sebagai wakil-wakil partai dan kelompok.
Para elite ini terpisah dalam ideologi kepartaian yang berdasarkan keagamaan (Masyumi, NU, PSII,dll), nasionalis (PNI,PIR,Parindra,) dan Marxisme/sosialime (PKI, PSI,Murba,) dan lain-lain menjadi pecahan partai yang lebih kecil.
Jika sebelumnya elite ini hanya dapat dipisahkan sebagai republiken dan non republiken, saat itu mereka sudah berpencar dengan ideologi partai dan kepentingan mereka masing-masing. Partai-partai berlomba menanam pengaruh dalam masyarakat sampai kepelosok desa.
Partai merasuk dalam lembaga pemerintahan. Para pejabat tinggi, hakim, jaksa berlomba masuk ke partai-partai favorit mereka. Muncullah pertama kali kata "klik" dalam dunia kepegawaian dari tingkat atas sampai yang terendah.
Militer dan polisi resmi dikatakan steril dari partai, tetapi kenyataannya mereka diam-diam dalam kapasitas pribadi, bersimpati pada partai tertentu. Ini terbukti kemudian ketika pemberontakan PKI di Madiun meledak, sejumlah perwira tinggi militer ternyata pendukung PKI.
Tidak mengherankan jika masyarakat sudah menganggap partai seperti messianaris, pembawa rezeki, bantuan, dan berkah.
Partai dapat memobilisasi mereka secara vertikal dan horizontal dalam jabatan formal pemerintahan dan legislatif, dalam berbagai jabatan yang empuk, ke dunia usaha yang menjanjikan, bahkan perlindungan bagi tokoh oportunis.
Pokoknya segala usaha dengan memanfaatkan "klik" teman separtai mendatangkan berkah. Sejak Indonesia merdeka, sampai 1957 tercatat enam kali Kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri, silih berganti.
Mulai Kabinet Natsir, Sukiman Wirjosandjojo, Wilopo, Ali Sastroamidjojo (1 dan II) serta Burhanuddin Harahap. Di sinilah pada mulanya kata “koalisi” kita kenal.
Para pimpinan partai yang mendapat mandat membentuk kabinet, harus mendekati pimpinan partai lain dan membentuk koalisi pemerintahan. Ini disebabkan, ke 27 partai yang diterima ketika itu, tidak ada yang diakui sebagai partai mayoritas.
Dalam perundingan-perundingan itulah kemudian terjadi tawar menawar. Sebagaimana lazimnya dalam politik, selalu ada take and give, sesuai kepentingan masing-masing. Inilah yang disebut ketika itu "politik dagang sapi".
Jika salah satu partai diajak duduk dalam kabinet, maka partai itu harus memberikan balas budi kepada partai yang memberikan. Tidak ada platform dan cita-cita politik – sosial yang sama antara partai yang diajak dalam kabinet, cita-cita kebangsaan terlupakan.
Mereka berkoalisi untuk menambah perbandingan suara belaka demi mengalahkan partai lain. Dengan sikap oportunis para elite partai itulah yang menyebabkan kabinet-kabinet yang dibentuk ketika itu sangat rapuh.
Dari 1950 sampai 1957, umur kabinet rata-rata di bawah satu tahun. Belum pernah ada program atau "GBHN" yang resmi diterima dalam sekian kabinet yang silih berganti.