Oleh : Nidia Zuraya, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Awal Juni lalu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken melakukan lawatan ke kawasan Timur Tengah. Destinasi pertama yang dipilih Blinken adalah Arab Saudi.
Selama tiga hari berada di sana, Blinken tak hanya melakukan pertemuan dengan pejabat pemerintah Kerajaan Arab Saudi saja, termasuk putra mahkota Mohammed bin Salman (MBS). Blinken juga berpartisipasi dalam Pertemuan Tingkat Menteri Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan AS.
Kemudian, Blinken menjadi tuan rumah bersama pertemuan Tingkat Menteri Koalisi Global untuk Mengalahkan ISIS dengan Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan di Riyadh. Pertemuan ini untuk menyoroti peran penting yang dimainkan oleh Koalisi ISIS untuk mengatasi ancaman yang berkelanjutan.
Dalam lawatan tiga hari tersebut, Blinken membawa misi penting, memuluskan gagasan normalisasi lebih lanjut Israel dengan negara-negara Timur Tengah. Karena setelah menyelesaikan lawatannya di Arab Saudi, Blinken mengunjungi Israel dan melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Dalam pertemuannya, Blinken dan Netanyahu membahas sejumlah isu. Satu di antaranya yakni tentang mendorong integrasi lebih lanjut Israel ke Timur Tengah melalui normalisasi hubungan dengan negara-negara di kawasan itu.
Sayangnya, tugas yang diemban Blinken sebagai 'corong' Israel di Timur Tengah tidak berjalan mulus. AS harus menelan pil pahit.
Arab Saudi telah berulang kali dikaitkan normalisasi dengan Israel. Tetapi, hal itu dengan tegas dibantah Pemerintah Saudi.
Menurut Menlu Saudi Faisal bin Farhan, normalisasi regional dengan Israel memiliki manfaat yang sedikit apabila dilakukan tanpa membawa kemerdekaan untuk Palestina. Hal ini sejalan dengan konsensus Liga Arab tentang Inisiatif Perdamaian Arab.
Arab Saudi, Qatar dan negara Timur Tengah lainnya secara konsisten menentang normalisasi hubungan dengan Israel tanpa kesepakatan untuk Palestina. Artinya, pembukaan hubungan resmi dengan Israel hanya akan dilakukan jika mereka telah hengkang dari wilayah yang didudukinya, termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan.
Upaya normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab sudah digencarkan sejak Pemerintahan mantan presiden AS Donald Trump. Upaya Trump ini cukup membuahkan hasil. Pada 2020, Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko mengumumkan bahwa mereka akan menjalin hubungan dengan Israel.
Sejak Presiden Joe Biden menjabat pada 2021, tidak ada pakta normalisasi lebih lanjut antara Israel dan negara-negara Arab. Tetapi pemerintah Biden terus mempromosikan hubungan Arab-Israel.
Di dalam negeri AS, untuk memuluskan langkah normalisasi, House of Representative telah meloloskan Undang-undang yang memandatkan pemerintah Presiden Joe Biden menunjuk Utusan Khusus untuk Perjanjian Abraham. Utusan tersebut akan membantu normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab terutama Arab Saudi.
Undang-undang yang diperkenalkan pada Februari lalu ini akan membentuk Utusan untuk Perjanjian Abraham yang akan bekerja sama dengan duta besar karir yang ditunjuk presiden dan dikonfirmasi Senat. Utusan khusus tersebut juga akan terlibat dalam diskusi dengan pejabat pemerintah negara lain yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel berdasarkan Perjanjian Abraham.
Sambutan hangat untuk Cina
Perlakuan berbeda ditujukan oleh Arab Saudi kepada Cina. Selepas berakhirnya kunjungan Menlu AS Antony Blinken ke Saudi, pengusaha dan investor Cina berbondong ke Riyadh untuk menghadiri konferensi bisnis.
Pekan lalu Saudi menjadi tuan rumah menjadi tuan rumah 10th Arab-China Business Conference. Acara ini dihelat menyusul kunjungan Presiden Cina Xi Jinping ke negara-negara Teluk yang digambarkan sebagai iniatif diplomatik terbesar di dunia Arab.
Belakangan terakhir hubungan Cina dan Saudi memang kian menghangat. Menyusul rekonsiliasi Saudi-Iran yang dimediasi Cina.
Kian eratnya hubungan Saudi-Cina dalam bidang keamanan dan teknologi tinggi yang sensitif, menjadi perhatian utama AS kini. Terlebih lagi, hubungan AS dengan Cina kian merenggang.
Tak hanya menjadi mediator rekonsiliasi Saudi-Iran, Cina juga gencar mendorong pembicaraan damai Palestina-Israel serta mendukung rakyat Palestina mendapatkan haknya kembali dan mendukung pembentukan negara Palestina merdeka, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Selain memberikan dukungan secara politik bagi perjuangan rakyat Palestina, Cina juga mendukung pembangunan ekonomi Palestina. Cina bakal mendanai empat proyek di Palestina. Proyek ini meliputi instalasi listrik tenaga surya, pabrik panel surya, pabrik baja, dan pembangunan infrastruktur jalan.
Untuk memuluskan langkah Cina, Presiden Xi Jinping secara khusus mengundang Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk berkunjung ke negaranya. Selain menindaklanjuti kerja sama investasi, kedua kepala negara ini juga membahas tentang potensi pembicaraan damai Israel-Palestina dengan bantuan mediasi Negeri Tirai Bambu.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina mengungkapkan, masalah Palestina adalah inti dari persoalan di Timur Tengah. Penyelesaian isu Palestina pun penting bagi perdamaian dan stabilitas kawasan serta kesetaraan dan keadilan global.
Selama ini Xi Jinping telah menunjukkan keinginannya untuk membantu penyelesaian konflik Israel-Palestina. Lebih dari sekali dia mengajukan proposal Cina untuk menyelesaikan masalah Palestina.
Meski Cina menegaskan tak memiliki kepentingan tersendiri dalam isu Palestina, namun publik melihat isu ini dimanfaatkan Cina untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Timur Tengah dan menggeser dominasi AS selama ini di kawasan tersebut.