Oleh : Ani Nursalikah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Kapan hari ketika saya mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, saya memperhatikan restoran yang menyajikan menu daging babi atau nonhalal makin gampang ditemui.
Interior restoran didesain menggemaskan dengan warna pastel. Sebuah logo restoran yang besar dan bergambar kartun babi mengingatkan saya bahwa restoran ini menyediakan menu nonhalal.
Saya juga pernah melihat restoran nonhalal di kawasan Alam Sutera, Tangerang yang juga memasang logo restorannya bergambar kartun babi dalam ukuran besar. Tanda seperti ini memudahkan konsumen, terutama Muslim untuk mengindentifikasi restoran dengan menu nonhalal dan mana yang tidak.
Lantas, bagaimana dengan kasus yang sempat viral konsumen diberi daging babi, padahal ia memesan daging sapi di sebuah restoran Italia di Jakarta? Parahnya, konsumen ini baru tahu ia memakan daging babi saat melihat tagihan yang akan ia bayar.
Apa yang dilakukan pramusaji yang memberikan makanan tidak sesuai pesanan jelas salah. Kesalahan ini fatal mengingat konsumennya Muslim.
Persoalan ini pun mengundang diskusi. Ada yang bilang, restoran harusnya pasang logo mereka menyajikan makanan tidak halal. Ada juga yang mempertanyakan mengapa konsumen seakan 'menjerumuskan' diri dengan makan di restoran yang menyajikan menu tidak halal.
Konsumen tersebut saya anggap mengetahui dengan sadar bahwa restoran yang ia masuki menyediakan menu nonhalal. Restoran ini terletak di kawasan Kemang, Jakarta yang kita tahu sebagai tempat bule nongkrong. Bahkan, pemilik restoran ini adalah orang asing.
Perlu upaya lebih ketika bersantap di restoran yang menyediakan menu nonhalal. Konsumen harus double check makanan yang ia pesan, memastikan menunya bukan makanan nonhalal.
Buntut viralnya kasus ini, pihak restoran meminta maaf secara terbuka. Sang pramusaji tidak dipecat, tapi menerima surat peringatan.
Bagaimana pun kasus ini sudah membuka ruang diskusi. Pendiri Halal Corner Aisha Maharani meminta Muslim lebih berhati-hati dalam memilih restoran.
Aisha menuturkan, sebagai seorang Muslim dewasa harus lebih hati-hati dalam memilih tempat makan dan atau makanan yang dipesan. Meski ini sudah telanjur termakan, kata dia, perilaku sengaja masuk ke restoran yang sudah tahu menyajikan makanan nonhalal adalah salah.
"Iya (kalau) tidak tahu tidak dosa, tapi kalau kita tahu restoran itu menyediakan menu babi dan kita ke situ, ya dosa," kata Aisha.
Menurut Aisha, jika kita dengan sengaja memasuki restoran yang menyedikan makan nonhalal dan kita tahu itu, namun kita tetap masuk dan makan di restoran tersebut, artinya itu menyengaja dan berdosa. Meskipun seandainya restoran mengaku alat masaknya terpisah antara memasak makanan halal dan nonhalal, Aisha tetap menyarankan menghindari atau mencari restoran lain.
"Kalau mereka klaim, oh alat masaknya terpisah, sudahlah di-skip aja, jangan takut dibilang cupu, lebay, toh nanti kita pulang di kampung akhirat di mana kita akan dipertanggung jawabkan apa-apa yang kita makan," ujarnya.
Dari survei kecil-kecilan yang saya lakukan pada teman dan keluarga, mereka memilih tidak akan masuk ke restoran yang menyediakan menu nonhalal. Mereka juga memperhatikan apakah tempat makan yang mereka masuki sudah bersertifikasi halal atau belum. Umumnya, mereka juga mencari tahu atau membaca ulasan (review) soal restoran yang akan mereka kunjungi.
Dari sini tampak, literasi halal sudah menjangkau mereka. Artinya, ada kesadaran memilih restoran yang sudah bersertifikat halal. Sayangnya, kesadaran soal makanan halal belum sepenuhnya tercapai di masyarakat.
Pemerintah memang sedang menggencarkan penerapan sertifikasi halal. Kewajiban sertifikasi halal khusus di sektor makanan, minuman dan kosmetika akan jatuh tempo pada 24 Oktober 2024. Pemerintah bersama MUI dan lembaga pemeriksa halal dibantu lembaga partisipasi publik di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal wajib memassifkan lagi sosialisasi penyelenggaraan kewajiban bersertifikasi halal bagi produsen dan konsumen.
Para pemangku kepentingan jangan sampai terjebak pada sertifikasi halal saja, literasi atau edukasi soal makanan halal tidak kalah penting.