Rabu 12 Jul 2023 20:27 WIB

Memahami Hikmah dan Kekuatan Haji

Yakinlah selalu, dari haji akan ada perubahan besar.

Sejumlah jamaah haji asal Kabupaten Semarang kloter 16 saat tiba di tanah air. (foto ilustrasi)
Foto: Republika/bowo pribadi
Sejumlah jamaah haji asal Kabupaten Semarang kloter 16 saat tiba di tanah air. (foto ilustrasi)

Oleh : Erdy Nasrul, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Belum lama ini sekitar 2,5 juta Muslim bergerak dari hotel tempatnya menginap di Makkah menuju Arafah. Di sana mereka bermalam dalam keterbatasan. Jangan pernah membayangkan bermalam di Arafah adalah kenikmatan. Sama sekali tidak. Karena di sana pasti ada banyak keterbatasan.

Toilet pasti antre. Satu pintu toilet akan ditunggu oleh sepuluh orang, bahkan lebih. Makan sudah pasti seadanya. Jangan pernah berharap ada McDonald, ayam Albaik, atau segala makanan bermerk. Semua itu sulit didapatkan di Arafah. Sebabnya lalu lintas menuju Arafah sangat padat dan tak terkendali. Mobil sudah pasti saling menyahutkan klakson, tapi tetap tak bisa berjalan karena sudah tak karuan.

Membayangkan berada di Arafah hidup dalam kenikmatan adalah tidak tepat. Apalagi kalau mengeluhkan situasi di sana. Tambah tertutup batin kita dari kenikmatan berhaji.

Jadi yang harus dilakukan adalah nikmati yang ada. Segala keterbatasan yang ada harus dipahami sebagai cobaan hidup. Toh lagi pula, haji yang dilaksanakan saat ini sudah didukung dengan banyak fasilitas yang memudahkan para jamaah. Tak perlu lagi berjalan kaki dari Makkah ke Arafah. Sudah dimudahkan dengan bus yang hanya dengan duduk manis selama 30 menit, bus melaju, dan sampai di Arafah.

Kemudian dari Arafah ke Muzdalifah dan lanjut ke Mina masih bisa mengendarai bus atau mobil. Namun dari Mina ke Masjidil Haram pada masa puncak haji, biasanya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Rutenya  melewati Mahbas Jin, masuk ke terowongan. Kemudian sampailah di area masjid suci.

Rasanya pasti sangat melelahkan. Tapi nikmati saja segala kelelahan tadi. Haji bukan sekadar menggerakkan badan dan melafalkan pujian kepada Allah, tapi juga fisik. Fisik yang harus banyak digerakkan untuk tawaf mengelilingi ka’bah. Fisik yang digunakan untuk berlari kecil dari Safa menuju Marwah seperti yang dilakukan Istri Ibrahim, Hajar, dahulu sambil menggendong Ismail sang anak yang menangis tiada henti karena lapar dan haus.

Juga didukung dengan ketenangan batin berdzikir dan fokus kepada Allah. Tinggalkan segala pikiran tentang rumah, pekerjaan, saudara, teman. Sekali lagi fokus kepada Allah. Entah dengan bertalbiyah, atau mengucap berbagai dzikir yang teringat.

Kunci keberhasilan berhaji ada pada kepasrahan dan optimisme kepada Allah. Jangan pernah berpikir bahwa haji itu ibadah yang menyusahkan. Jangan. Ganti segala pikiran negatif dengan optimisme bahwa haji adalah jalan menuju ridha Allah. Lalu tempuh segala kesusahan dalam berhaji dengan kesabaran.

Pasrah, sabar, banyak ibadah, banyak dzikir, jaga kesucian lahir dan batin, dan lakukan apa yang menjadi ketentuan berhaji. Begitulah proses penggemblengan orang dalam ibadah haji.

Haji itu bukan untuk mengeluhkan keadaan. Haji itu untuk menguatkan mental, membentuk dan menambah daya tahan (banting) ke batas maksimal. Menguatkan dan menambah daya sabar dan optimisme menggapai tujuan mulia. Menahan, bahkan mengubah segala keterbatasan menjadi energi positif dan keyakinan mampu mewujudkan cita-cita. Dan pada akhirnya bisa menggapai tempat mulia di sisi Allah meski harus menempuh rute cobaan hidup berupa tawaran dosa dan keduniaan yang terkesan nikmat.

Pulang dari haji, seseorang belum tentu akan merasakan langsung faidah ibadah tersebut. Beberapa waktu kemudian, Allah akan memberikan ujian hidup yang besar. Tapi Allah juga memberikan daya tahan yang luar biasa.

Nanti akan merasakan betapa susahnya melewati cobaan hidup. Namun, Alhamdulillah, ada keyakinan dan optimisme pasti bisa dan lulus menghadapi ujian hidup. Allah membersamai setiap langkah. Allah membersamai setiap untaian kata. Dan Allah berada dekat, lebih dekat dari urat nadi setiap orang, sehingga merasa dekat dengan-Nya.

Hati menjadi tenang. Batin merasakan kenikmatan. Tak risau menghadapi kematian, kegagalan, kerugian, dan segala tantangan. Karena semua itu dipahami sebagai langkah membuat diri sadar untuk mencapai kehidupan bahagia di akhirat, kesuksesan dan keuntungan berada di dekat Allah, dan menjadi pribadi kuat dan tahan banting untuk selalu berbuat baik.

Insya Allah setelah haji tahun ini, akan ada gelombang besar energi kebaikan mengalir ke Tanah Air. Energi yang menjadikan bangsa ini dekat kepada Allah. Energi yang kelak menjadikan sumber daya bangsa ini adalah rahmatan lil ‘alamin.

Yakinlah selalu, dari haji akan ada perubahan besar. Perubahan dari kesombongan menjadi ketawadhuan, dari serba materi menjadi serba batin, dari keduniaan menjadi keakhiratan, dari ketertutupan menjadi keterbukaan, universalitas, dan kesadaran diri, bahwa di mata Allah, semuanya adalah kecil dan tidak berkekuatan.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement