Rabu 05 Jul 2023 09:42 WIB

Jangan Mimpi Kuliah Murah Jika Kampus Masih PTN-BH

Pendanaan kampus seolah dibebankan melalui rekrutmen penerimaan mahasiswa.

Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNB) menjadi salah satu penyebab mahalnya kuliah. Peserta mengikuti UTBK-SNBT 2023 (Foto ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNB) menjadi salah satu penyebab mahalnya kuliah. Peserta mengikuti UTBK-SNBT 2023 (Foto ilustrasi)

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Mahalnya biaya kuliah di kampus negeri yang dikeluhkan saat ini bukan kejutan. Bukan pula sesuatu yang mengagetkan. Ini pun sebenarnya ‘penyakit’ tahunan. Kambuhan jelang pembayaran masuknya calon mahasiswa baru seperti sekarang. Sejak kapan? Sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum diterbitkan.

Sebagian kampus negeri kita telah menjadi subjek hukum yang otonom. Itulah kampus yang berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Kampus berstatus PTN-BH ini sekarang ada 21. Dengan otonomi yang diberikan itu, artinya kampus berhak mengatur atau mengelola perguruan tingginya secara independen, dari aspek akademis hingga pengelolaan keuangannya. Inilah pangkal persoalannya. Semua bermula dari sini.

Barangkali yang diharapkan adalah kampus bisa lebih lincah mencari pendanaan melalui badan usaha yang dikelola atau skema lainnya demi keuangan perguruan tinggi yang lebih sehat. Tapi 10 tahun berjalan aturan itu, bagaimana realisasinya? Saya tidak akan mengatakan semua, tetapi yang ada, pendanaan kampus seolah dibebankan melalui rekrutmen penerimaan mahasiswa.

Maka titik krusialnya adalah mengutak-atik kuota jalur penerimaan mahasiswa baru. Kampus berstatus PTN-BH diizinkan menerima mahasiswa baru melalui jalur mandiri maksimal 50 persen dari total mahasiswa yang diterima. Setengahnya lagi dibagi antara jalur SNBP dan SNBT. Perguruan tinggi sebenarnya boleh menerima mahasiswa baru jalur mandiri kurang dari 50 persen. Tetapi kampus mengambil maksimal. Tidak salah juga. Karena memang di situlah perguruan tinggi mendulang untuk menambah keuangan.

Kita sama-sama tahu bahwa jalur mandiri memang mahal adanya. Uang pangkalnya selangit, puluhan juta. Pasti lebih mahal dari jalur tes yang sekarang disebut Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Atau yang sebelumnya disebut SBMPTN. Sebelum itu namanya SPMB. Sebelumnya lagi namanya UMPTN. Atau generasi lebih dulu akrab dengan nama Sipenmaru. Kalau tidak salah urutannya begitu. Intinya sama, masuk perguruan tinggi melalui tes. Namanya saja yang berubah-ubah. Itulah memang kegemaran kita. Senang berganti-ganti istilah, dalam bidang apa pun.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kampus berstatus PTN-BH menentukan SPP atau yang sekarang disebut uang kuliah tunggal (UKT) itu? BEM UI tegas menyatakan tidak adanya akuntabilitas dan transparansi dalam proses penetapan biaya kuliah. Ini persoalan. Mahasiswa tidak dilibatkan dalam pengambilan sebuah kebijakan yang berpengaruh bagi mahasiswa itu sendiri.

Di sisi lain, penangkapan mantan rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani tahun lalu oleh KPK menjadi tamparan keras. Putusannya pun kini sudah inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap. Ia berstatus terpidana. Karomani terbukti menerima suap terkait penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri. Mau berkilah apalagi jika memang ‘jalur mahal’ ini punya celah menganga potensi kecurangan yang signifikan?

Ketika KPK menangkap mantan rektor Unila...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement