Selasa 11 Jul 2023 01:11 WIB

Konvergensi Telematika, Konglomerasi Media, AI: Tantangan Besar Demokrasi di Era Digital

Platform media online meningkatkan akses konten maupun informasi.

Red: Karta Raharja Ucu
Ponsel Pintar (ilustrasi)
Foto: VOA
Ponsel Pintar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tasneem Khaliqa Israkhansa, Mahasiswi Semester Fakultas Hukum UI

Beberapa dari kita mungkin pernah merasakan zaman di mana penggunaan ponsel BlackBerry, sebuah merek tersohor buatan Kanada, sempat booming. Nama BlackBerry Messenger (BBM), aplikasi pengirim pesan instan untuk para pengguna perangkat BlackBerry, bahkan pada masanya melambung hingga memiliki pengguna setia mencapai 80 juta orang di seluruh penjuru dunia (CNBC, 2022) dan membuat dominasi merek Nokia tergeser dari pasar ponsel global. 

Meski pada akhirnya, tidak pernah terdengar lagi setelah mengalami kebangkrutan dan tergantikan oleh salah satu kompetitornya, iPhone dan Android. Atau mungkin, kamu adalah di antara anak-anak yang mahir melakukan operasi dasar aritmatika dengan metode jarimatika (cara berhitung menggunakan jari tangan) dan sempoa (alat bantu hitung kuno dari rangka kayu), sebelum benar-benar usang dengan berpindah fungsi ke dalam kalkulator elektronik?

Namun, pernahkah kita berpikir mengapa kemajuan tersebut dapat terjadi dengan mudah? Hal ini tentu tidak lepas dari adanya perubahan yang terjadi dalam teknologi dari waktu ke waktu atau yang dikenal dengan istilah evolusi teknologi. Evolusi teknologi tersebut kemudian memunculkan perangkat atau sistem baru yang lebih canggih dan efektif berupa teknologi yang dikembangkan meliputi telepon seluler, laptop, internet, dan sebagainya, yang umumnya dipicu penemuan-penemuan baru dan kemajuan dalam pengetahuan maupun teknologi.

Seiring dengan kemajuan teknologi ini, dimungkinkan pula konvergensi telematika atau penggabungan teknologi seperti teknologi telekomunikasi, media, dan informatika yang pada awalnya merupakan entitas yang terpisah, menjadi satu sistem penyelenggaraan yang semakin terpadu (konvergen) dan disebut sistem elektronik (Djulaeka, 2013:59). Inilah saat di mana evolusi dan konvergensi telematika dapat dikatakan berjalan beriringan karena saling mempengaruhi satu sama lain. Di satu sisi evolusi teknologi terus mendorong konvergensi telematika, di sisi lain konvergensi telematika memungkinkan perkembangan teknologi yang lebih cepat dan maju.

Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi. Dengan digitalisasi, data dan informasi diproses melalui jaringan yang sama sehingga memungkinkan integrasi berbagai teknologi dalam satu platform digital. Makanya, saat ini dapat kita temui, misalnya dalam penyiaran, yang memungkinkan siaran televisi memiliki layanan program layaknya internet.

Cukup dengan satu perangkat, seseorang sudah dapat mengakses surat kabar, melakukan panggilan telepon, mendengar radio, dan menikmati hiburan televisi sekaligus. Padahal, bila kita tarik sejarahnya, teknologi informasi dan komunikasi pertama kali diawali dengan tradisi media lisan, di mana saat itu komunikasi dilakukan secara verbal dan melalui tulisan pada dedaunan maupun tanah liat.

Kemudian, pada abad ke-15 terjadi perkembangan industri kertas dan ditemukannya mesin cetak, yang menjadi awal lahirnya era paper-based communication di awal tahun 1900-an. Sejak itu, proses telekomunikasi pun mulai mengandalkan individu-individu sebagai pengantar pesan, seperti tukang pos, loper koran, dan kurir pribadi bagi kalangan borjuis. Adapun, produk dari paper-based communication tersebut, antara lain koran, buku, majalah, dan berbagai bentuk media cetak lainnya. 

Sebelum era elektronik, proses informasi secara mekanik dengan mesin-mesin canggih tersebut masih sangat terbatas sampai ditandai dengan penemuan telegraf dan telepon, yang memungkinkan penyampaian pesan jarak jauh perantara berupa individu sebagai pengantar pesan. Namun, kala itu telepon hanya dapat dinikmati oleh kalangan borjuis serta digunakan untuk kebutuhan perusahaan saja.

Dari yang semula masyarakat industri pun berkembang menjadi masyarakat modern, dengan menyebarnya arus globalisasi sebagai salah satu faktor yang mempercepat terbentuknya masyarakat modern di berbagai belahan dunia (Hildigardis Nahak, 2019:167). Pada era ini, penyampaian informasi berangkat dari yang tadinya menggunakan jasa kurir menjadi gelombang elektronik. Dengan ditemukannya saluran media baru, seperti televisi dan radio, penyampaian informasi melalui media elektronik semakin berkembang dengan terintegrasinya media-media (divergensi media) dan digitalisasi tumbuh kian cepat.

Contohnya, televisi menjadi sumber berita elektronik yang bisa dibaca melalui situs berita secara real-time dan pesan yang sebelumnya dilakukan melalui telepon kini dapat dilakukan melalui email untuk mengirimkan pesan elektronik. Era ini adalah Second Media Age, yang dimulai sekitar tahun 1990 dan berlangsung hingga akhir abad 20. Selama era tersebut, industri media mengalami perkembangan pesat dan muncul pula bentuk-bentuk baru media, misalnya televisi berwarna, televisi kabel, dan video recorder. Selanjutnya, kemunculan internet, digital mobile phones, mobile data, laptop, dan notebook di era 1990 sampai 2000 juga membuat banyak tayangan media melalui televisi, radio maupun cetak memanfaatkan teknologi ini sehingga muncul apa yang kita ketahui hingga saat ini, yaitu internet TV, internet telepon, video telephones, digital video recording, dan digital broadcast TV (Willius Kogoya, 2022:7).

Sekilas, pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang terus berevolusi memberikan banyak kemudahan kepada kemajuan. Dari telepon kabel hingga hadirnya telepon genggam yang memberikan kemudahan sehingga telegram ataupun surat konvensional yang memakan waktu lama dalam penyampaiannya tak lagi diperlukan. Bahkan, dalam perkembangannya telepon genggam dimungkinkan tidak hanya digunakan untuk menelepon atau mengirim pesan singkat, namun juga melakukan panggilan video-call dan mengirimkan foto melalui aplikasi chatting. Proses komunikasi yang kita lakukan dengan menggunakan media konvergensi seperti handphone, email, pesan instan, dan internet dalam waktu yang bersamaan itu, disebut mix-communication (Retno Sri Utami, 2008:135).

Hal tersebut menandakan adanya platform online mempermudah masyarakat dalam mengakses berita dan konten lainnya dengan jaringan internet dan berimplikasi pada terjadinya peningkatan akses konten maupun informasi. Selain itu, keleluasaan dalam mengakses informasi menggunakan platform yang masyarakat sukai juga memungkinkan para pengguna membuat pilihan yang beragam sesuai preferensinya. Lalu, komunikasi secara interaktif juga berlangsung dengan pengguna yang dapat aktif memberikan komentar maupun saran terhadap informasi dan konten yang disuguhkan. 

Tidak hanya itu, kemampuan internet mentransmisikan informasi secara cepat juga membuat semua orang dapat saling terhubung tanpa dibatasi apapun dan meniadakan batas-batas fisik yang memisahkan manusia. Sejalan dengan itu, menyatukannya ke dalam dunia baru, yakni dunia “maya”. Menurut seorang peneliti asal AS bernama Mark Poster, keadaan tersebut kemudian menghasilkan suatu realitas yang disebut virtual reality (Zinggara Hidayat, 2016:63).

Akan tetapi, konvergensi telematika yang menggabungkan beberapa jenis komunikasi dalam waktu yang bersamaan semacam itu, menyebabkan batas antara komunikasi antarpribadi dan komunikasi massa menjadi kabur. Misalnya, dengan adanya aplikasi pesan instan seperti WhatsApp dan Telegram, orang dapat berkomunikasi dengan kelompok yang lebih besar secara real-time, sehingga komunikasi antarpribadi menjadi lebih massal. Sebaliknya, keberadaan aplikasi media sosial seperti Facebook dan Twitter, orang dapat berpartisipasi dalam diskusi dan berbagi informasi secara publik, sehingga komunikasi massa menjadi lebih interaktif dan personal.

Berpadunya dua jenis komunikasi tersebut selanjutnya menimbulkan apa yang disebut dengan demasifikasi, yakni sebuah kondisi di mana ciri utama media massa konvensional selaku penyebar informasi secara masif menjadi lenyap. Hal itu lantaran semakin personalnya arus informasi yang berlangsung karena kebebasan menentukan pilihan informasi yang dibutuhkan bagi para pengguna. Adanya media konvergen itu pun memunculkan karakter baru berupa komunikasi yang makin personal dan interaktif, di mana pengguna dapat berkomunikasi secara langsung dan merasakan konsekuensi langsung dari pesan yang diterima.

Namun, seringkali kita melupakan bahwa, benar memang internet menawarkan suatu kemudahan dan kecepatan. Tetapi, apakah secure? Belum tentu. Hal ini dikarenakan komunikasi massa yang semula dilakukan oleh lembaga pers, ini dengan berkembangnya sosial media memungkinkan masing-masing kita menjadi aktor utama dalam penyampaian informasi kepada massa dengan memasok, meng-upload, dan menyebarkan kontennya sendiri yang menciptakan interaksi dalam konten digital sehingga muncul istilah user-generated content (Herman Purba, 2022:231). Adapun, konten yang dibuat oleh pengguna tersebut bertujuan untuk dibagikan dan dikonsumsi oleh orang lain dalam jaringan yang sama (platform digital). Konten-konten itu, misalnya vlog, forum, review produk, blog, maupun foto atau video yang diunggah di media sosial.

Perubahan pola komunikasi dari tatap muka menjadi maya sebagai akibat terjadinya konvergensi telematika ini, pada kenyataannya lebih dari sekadar membuat kita menyatu tanpa sekat. Namun, hal tersebut juga mengakibatkan perubahan dalam tatanan masyarakat menjadi masyarakat yang berorientasi pada informasi (information society), di mana sadar ataupun tidak, keterbukaan informasi membuat kita seakan-akan menyerahkan privacy kita kepada suatu sistem. Misalnya, untuk memperoleh feedback dari suatu hal yang diinginkan, seperti penawaran iklan berupa undian yang menjanjikan hadiah menggiurkan bagi mereka yang bersedia mengisi sejumlah pertanyaan mengenai dirinya, seseorang tak segan-segan mencantumkan identitas data pribadinya. Contoh lainnya, ialah seseorang yang terlalu membiarkan publik mengetahui kehidupan pribadinya secara mendalam dengan konten-konten yang dipublikasikannya.

Informasi-informasi pribadi yang dibagikan tersebut tidak hanya mengancam keamanan data pribadi seseorang, tetapi juga disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab karena telah menjadi suatu konsumsi publik. Mereka yang bersikap hati-hati bahkan tidak dapat menjamin bahwa kerahasiaan informasi tentang dirinya terjaga, apalagi mereka yang tidak dan sembarang percaya pada orang lain. Lebih dari itu, informasi yang menunjukkan adanya interest akan suatu hal juga dapat menjadi sumber yang berharga untuk para kelompok dominan sebagai penguasa pasar dapat mempengaruhi suatu persepsi publik akan suatu isu.

Konsentrasi kepemilikan tersebut, ketika sektor-sektor media yang berbeda bergabung, menghidupkan apa yang dinamakan dengan konglomerasi media. Konglomerasi media ini memberikan efisiensi bagi mereka yang tergabung ketika antar media bisa saling bertukar materi informasi ataupun memanfaatkan SDM sehingga berakibat pada terjadinya penguasaan pasar. 

Beberapa contoh media di Indonesia yang melakukan konglomerasi media, antara lain MNC Group yang merupakan gabungan dari MNCTV, RCTI, Global TV, dan iNews. Konglomerasi media yang terjadi semacam ini, memungkinkan adanya kekuatan di bidang politik maupun keuntungan besar yang diraup di bidang ekonomi, mengingat terdapat dua tendensi kepentingan berkaitan dengan kebijakan dari ekspansi dan konglomerasi yang dilakukan oleh media tersebut. Pertama, potensi implikasi sosial-politik dan budaya yang ingin diwujudkan para perusahaan media. Kedua, potensi ekonomi yang ingin dicapai dari pengembangan bisnis media tersebut sebab memberikan ladang bisnis yang menjanjikan (Umi Khumairoh, 2021:71-73).

Konsekuensi dari dimanfaatkannya konvergensi media oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan gagasan politik secara lebih leluasa jelas hanya akan menguntungkan segelintir pihak. Konfigurasi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik semacam itu, pada puncaknya dapat meruntuhkan terselenggaranya sendi-sendi kehidupan demokrasi dan berakibat stabilitasnya menjadi terancam. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mematikan ruang demokrasi di tanah air ini karena media justru dijadikan alat propaganda dan dimanipulasi untuk kepentingan para pemiliknya. 

Mereka, para pemodal yang berafiliasi dengan kelompok politik, terbuka pada peluang untuk mentransformasikan gagasan politik tertentu dalam meraih dukungan publik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka bukan tidak mungkin suara publik dapat dikendalikan oleh kekuatan dominan para pemilik modal sekaligus kelompok kepentingan. Bentuk pengendalian yang dimaksud, contohnya dapat ditemukan dalam berbagai program yang bisa menggiring opini publik pada dukungan terhadap pemilik media tersebut.

Tidak hanya terbatas pada media, konvergensi telematika sebagai sebuah fenomena juga telah menyebabkan sistem pengaturan hukum di Indonesia mengalami perubahan. Apabila dipetakan, terdapat setidaknya 3 (tiga) lapisan utama perundang-undangan sebagai konstruksi pengaturan yang berkaitan dengan konvergensi telematika di Indonesia saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“Undang-Undang Telekomunikasi”), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UndangUndang Penyiaran”), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (“Undang-Undang ITE”). Di dalam Undang-Undang Telekomunikasi diatur mengenai sistem elektronik, sementara Undang-Undang Penyiaran memuat tentang isu-isu penyiaran seperti konten penyiaran, terkhusus terkait kegiatan-kegiatan yang tidak diatur oleh Undang-Undang ITE dalam bentuk pengaturan kepemilikan usaha penyiaran serta frekuensi. Sedangkan, yang tidak diatur kedua ketentuan tersebut seperti halnya penyelenggara sistem elektronik (PSE), diatur secara khusus di dalam Undang-Undang ITE sehingga bersifat lex specialis (peraturan perundang-undangan khusus) (Djulaeka, 2013:53).

Kemungkinan polarisasi opini, politisasi media, dan ketidakseimbangan pemberitaan semacam itu, menjadikan dunia dengan segala kecanggihan yang dirasakan saat ini semakin tidak hanya berada dalam bayangan ditambah hadirnya Artificial Intelligence (AI). Dalam era digital yang kian maju, teknologi AI menjadi salah satu kunci daripada efisiensi dan produktivitas di berbagai sektor, seperti kesehatan, keuangan, dan lain-lain. Kecerdasan Buatan atau disebut AI ialah mengacu pada kemampuan mesin atau sistem komputer untuk melakukan tugas-tugas yang membutuhkan kecerdasan manusia, misalnya mengenali ucapan, pembelajaran, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan melalui pengenalan pola serta model deep-learning dengan cepat dan akurat.

Kendati dalam berbagai bentuk kita dapat sangat terbantu dengan kemampuan AI mengurangi potensi terjadinya human error, kecerdasan yang AI bawa ke hampir produk apapun, memungkinkan sebuah robot menjadi cognitive bot (program kecerdasan buatan untuk mensimulasikan proses pemikiran manusia) karena kemampuan Artificial Intelligence-nya. Dalam hal ini, cognitive bot akan melakukan otomatisasi pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan manusia, seperti pengambilan keputusan yang sifatnya kompleks sehingga manusia hanya perlu meninjau dan melakukan validasi terhadap hasilnya. Terlebih, AI tidak dapat merasa lelah seperti manusia sehingga minimnya kesalahan yang dilakukan AI membuat mereka bekerja mendekati akurasi yang sempurna. Terdengar menguntungkan memang, namun keberadaannya sangat mengancam karena pekerjaan fisik pada akhirnya bukanlah keharusan, melainkan hanya akan menjadi sebuah pilihan. Pekerjaan manusia akan tergantikan oleh AI seiring berjalannya waktu.

Dalam kaitannya dengan media, penggunaan AI yang tidak terkontrol dan digabungkan dengan konvergensi telematika pun dapat turut memperparah pengaruh negatif konglomerasi media terhadap stabilitas demokrasi. AI menjadi faktor krusial dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas produksi media karena dapat membantu mengumpulkan, mengolah, dan menampilkan informasi dalam skala besar, sehingga pasar informasi dapat dengan mudah dikuasai. Padahal, media seharusnya menjadi “watchdog” kekuasaan atau “anjing penjaga” maupun pengawas pemerintah sebagai the fourth estate of democracy (pilar keempat demokrasi) yang harus dijamin kebebasannya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) (Dedi Fahrudin, 2013:81).

Lalu, bagaimana seharusnya tantangan besar demokrasi di era digital yang diakibatkan dari terjadinya konvergensi telematika, konglomerasi media, dan munculnya AI tersebut? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa segala kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi saat ini tidak serta merta memberikan rasa aman (secure). Kita boleh saja bebas berbuat semau kita selama hal tersebut tidak merugikan orang lain. Tetapi, kebebasan yang berlebihan tanpa diiringi oleh tanggung jawab hanya akan membunuh kebebasan atau kemerdekaan itu sendiri. 

Bapak Proklamasi kita, Mohammad Hatta, bahkan mengatakan, hal ini akan berujung pada anarki (Dewan Pers Indonesia, 2016:14). Dengan demikian, diperlukan pemanfaatan ruang digital secara bijak dan bertanggung jawab dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi seperti halnya pada dunia nyata, termasuk mematuhi etika dan regulasi yang diperuntukkan dalam berperilaku digital.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya, siapa yang paling bertanggung jawab dalam membangun masyarakat yang demokratis? Apakah dalam hal ini cukup dibebankan kepada satu orang atau segelintir orang saja? Pada hakikatnya, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Artinya, di dalam suatu sistem demokrasi rakyatlah yang berkuasa sebab memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi. 

Dalam konteks negara yang demokratis, perwujudan tersebut ialah dengan diberikannya kesempatan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk bebas berpendapat. Mengenai kebebasan berpendapat ini, Undang-Undang Dasar 1945 mengaturnya pada Pasal 28E, yakni “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Juga, Piagam Hak Asasi Manusia dalam Pasal 19 Tap. MPR Nomor 18 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang berbunyi serupa.

Pendapat publik tersebut menurut Lippman sebenarnya ditentukan oleh pemberitaan media (Umi Khumairoh, 2021:69). Selama ini, media banyak dilihat hanya sebagai sarana hiburan semata. Padahal, informasi yang disajikan media berperan signifikan terhadap proses sosial. Informasi yang berlalu-lalang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif berupa tanggapan dan umpan balik. Media sebagai alat kekuasaan negara bekerja secara ideologis membangun kepatuhan khalayak karena perannya yang besar dalam membentuk konstruksi sosial. 

Dari segi fungsi, media diantaranya memiliki hak untuk melakukan kontrol sosial dan memberikan kritik atas kinerja pemerintah. Sebagai pilar keempat untuk menopang kehidupan demokrasi dan pelopor perubahan yang mempengaruhi (agent of change), media bertanggung jawab kepada kepentingan umum dan harus kembali kepada idealismenya semula dengan mengedepankan profesionalisme. Maka, media yang independen dan bertanggung jawab sebagai salah satu unsur bagi pemerintahan yang demokratis harus dipenuhi.

Namun, jika media yang seharusnya berfungsi sebagai filter yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak, penunjuk arah atas berbagai ketidakpastian (interlocutor), cermin peristiwa dalam merefleksikan masyarakat dan dunia yang apa adanya saja (Denis McQuail, 2000:66), “disetir” oleh kekuatan kelompok-kelompok tertentu dengan menempatkan hal-hal yang tidak substansial dalam pemberitaannya, bagaimana tidak kepercayaan publik akan tergerus? Keterasingan terhadap masalah kemasyarakatan yang berkembang menyarang di masyarakat? 

Terlebih, apabila informasi yang diberitakan justru membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar sehingga tidak mencerminkan fakta yang sebenarnya. Hal itu karena pemberitaan yang sama oleh sejumlah media yang tergabung tersebut membuat masyarakat yang mengkonsumsi informasi akan berasumsi bahwa pemberiaan itu benar adanya.

Hanya saja, kita tak bisa hanya mengandalkan peran para media semata sebab pada praktiknya media belum sepenuhnya dapat menghubungkan suara rakyat dalam hal sinergitas pengawasan terhadap pemerintah maupun lembaga-lembaga publik karena kecenderungan media pada praktik konglomerasi. Setiap individu diharapkan dalam kondisi sadar saat bermedia sosial dan mengetahui persis konsekuensi atas perilakunya, khususnya konsekuensi berupa akibat hukum sebab semua orang dianggap tahu akan hukum (teori fiksi hukum) (Ali Marwan, 2016:253). 

Apalagi, dunia digital memiliki efek domino. Satu permasalahan kecil bisa menjadi besar karena viral dengan the power of netizen (sebutan bagi warga dunia maya). Kewaspadaan akan jejak digital perlu ditingkatkan kembali.

Sementara, pemerintah selaku pemangku kebijakan harus mampu untuk selektif mengatur konten-konten yang tersaji di media massa, seperti yang memuat unsur pornografi dan tidak proporsional sebab cenderung pada kepentingan politik praktis. Sosialisasi mengenai pentingnya berliterasi media juga perlu digiatkan pemerintah kepada masyarakat agar mereka mampu melakukan filterisasi sebelum informasi-informasi tersebut diterima secara bulat. Adapun, terhadap segala payung hukum yang dijadikan dasar daripada pengaturan yang berkenaan dengan konten maupun pencegahan praktik konglomerasi media, penting kiranya untuk dilakukan revisi berkala menyesuaikan perkembangan di dalam masyarakat itu sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement