Oleh : Endah Hapsari, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Pemalas, mau seenaknya, dan gemar healing. Predikat ini tampaknya lekat dengan gambaran anak-anak Generasi Z atau biasa disebut Gen Z. Istilah Gen Z sendiri diberikan pada mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2000-an. Mereka ini lahir dengan beragam teknologi informasi dalam genggaman. Sejak usia dini, mereka sudah dikenalkan dengan beragam gawai, mulai dari telepon seluler canggih hingga tablet yang ringan untuk menelusuri dunia maya. Mereka pun sejak kecil sudah berkenalan dengan mesin pencari bernama Google hingga kini berkenalan dengan teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT yang membuat segala pekerjaan menjadi lebih mudah.
Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang sudah dirasakan sejak dini, Gen Z pun merasakan kehidupan yang serbainstan dan nyaman. Segala hal dilakukan dengan sekali ‘klik’ dan hasil yang cepat tanpa perlu memeras tenaga dan otak.
Alhasil, julukan pemalas dan kerap bertindak seenaknya pun disematkan pada Gen Z. Menurut studi tahun 2022 oleh Deloitte, seperti dilansir Forbes, ada sejumlah alasan Gen Z ketika memilih tempat kerja mereka yaitu keseimbangan kerja/hidup yang baik (32 persen), diikuti oleh kesempatan belajar dan berkembang (29 persen), dan gaji yang bagus (24 persen).
Sedangkan menurut survei CareerBuilder 2021, Gen Z pun kerap berpindah kerja dan menghabiskan rata-rata dua tahun tiga bulan dalam satu posisi. Durasi yang singkat jika dibandingkan dengan kelompok generasi sebelumnya.
Sementara hasil studi Dell menyebutkan untuk pekerjaan sehari-hari, Gen Z sangat berfokus pada teknologi, dengan 80 persen ingin bekerja dengan teknologi canggih. Lebih lanjut, studi Deloitte menemukan, 75 persen Gen Z lebih memilih pola kerja hybrid atau jarak jauh.
Lantas, apakah data tersebut cukup untuk menyebutkan para Gen Z ini pemalas? Boleh jadi, kendati hal ini tentu tidak bisa digeneralisir untuk seluruh Gen Z.
Jika sebagian besar Gen Z berperilaku demikian, masih ada segelintir generasi ini yang dibesarkan dengan kerja cerdas, alih-alih kerja keras. Mereka memilih untuk menggunakan segala kemudahan dan fasilitas yang ditawarkan teknologi untuk memperkaya wawasan dan meningkatkan kompetensi diri. Mereka lebih suka bekerja dengan efisien berbekal pengetahuan tentang berbagai perangkat dan peranti yang bisa didayagunakan.
Namun, tak dimungkiri situasi saat ini membuat banyak orang kelelahan, tak hanya Gen Z. Dilansir dari nzherald.co.nz, survei Universitas Melbourne terhadap 1.400 pekerja tahun ini mengungkapkan bahwa mereka merasa semakin tidak termotivasi, kelelahan, dan berjuang untuk berkonsentrasi setelah pandemi Covid-19.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa tenaga kerja angkatan muda dua kali lebih mungkin merasa terbebani waktu terkait dengan urusan remeh temeh dan pekerjaan rumah tangga di luar pekerjaan mereka. Banyak orang terpaksa mencari pekerjaan baru setelah pandemi yang mengakibatkan pekerja lebih siap untuk berganti pekerjaan berulang kali hingga menemukan pekerjaan yang tepat.
Di sisi lain, kita pun bisa belajar dari kegigihan generasi yang lebih tua, yaitu pria asal China bernama Liang Shi (56 tahun). Kendati telah berhasil meraih sukses dengan membangun bisnis sendiri, dia tak pernah melenyapkan ambisinya untuk mencicipi bangku kuliah.
Untuk mewujudkan mimpi itu, selama empat dekade terakhir, dia berusaha untuk lulus ujian perguruan tinggi. Demi mencapai keinginanya itu, Liang belajar hingga 12 jam sehari untuk ujian. Sayangnya, usahanya itu terus gagal. Bahkan, dia terus saja gagal meski sudah 27 kali mencoba ikut tes.
Apakah dia menyerah? ''Ini keputusan yang sulit, tapi saya juga tidak mau menyerah,” katanya.
Dia mengaku terus terinspirasi dari pria yang gagal dalam uji pengemudi sebanyak 192 kali.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah Gen Z terinspirasi untuk melakukan hal serupa?