Selasa 25 Jul 2023 10:39 WIB

Rentannya Masyarakat Kelas Menengah Kembali ke Jurang Kemiskinan

Pandem Covid-19 membuktikan kerentanan kelas menengah.

Kelas menengah Indonesia rawan untuk jatuh ke jurang kemiskinan. Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Kelas menengah Indonesia rawan untuk jatuh ke jurang kemiskinan. Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).

Oleh : Ahmad Fikri Noor, Redaktur Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu menyampaikan, Bank Dunia kembali memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke atas atau upper-middle income countries per Juli 2023. Menurut dia, proses pemulihan ekonomi di Indonesia termasuk cepat setelah sebelumnya turun ke kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah karena pandemi Covid-19.

Kembalinya Indonesia ke status pendapatan tersebut, membuat harapan untuk menjadi negara maju semakin terbuka. Seperti kita ketahui bersama, Indonesia ingin naik kelas menjadi negara maju sebelum perayaan satu abad kemerdekaan atau sebelum 2045.

Perkembangan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia turut membuat pergeseran dalam demografi ekonomi. Jika pada awal kemerdekaan, struktur masyarakat lebih gemuk dengan masyarakat miskin kini semakin didominasi kelas menengah.

Kelas menengah yang semakin banyak diharapkan dapat terus berkembang dan menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Terlebih lagi, konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi lebih dari 50 persen.

Masalahnya, kelas menengah Indonesia dinilai cukup rentan dan bisa kembali ke jurang kemiskinan dalam periode singkat. Hal ini sudah dibuktikan dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah berlalu. Saat itu, Indonesia yang sudah jadi negara berpendatan menengah atas harus turun lagi menjadi negara berpendapatan menengah bawah.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menyampaikan, berdasarkan data BPS pada 2017, kelas menengah rentan miskin jumlahnya berkisar 115 juta orang. Artinya, itu hampir setengah dari penduduk Indonesia.

"Mereka memang masuk kelompok kelas menengah tapi apabila ada bencana sedikit, terkena dampak ketidakpastian ekonomi, kehilangan pekerjaan, langsung mereka masuk ke kelompok miskin," kata Bhima.

Terlebih lagi, ujarnya, garis kemiskinan di Indonesia saat ini relatif rendah. Sehingga, tidak mencitrakan fakta di lapangan.

Bhima juga menyoroti kelas menengah rentan miskin kurang mendapatkan perlindungan dari negara. Contohnya, banyak dari kelas menengah ini bekerja di sektor informal.

"Dengan kenaikan kelas Indonesia, justru kelas menengah kita tidak punya job security, kepastian kerja, dan juga kepastian upah," ujarnya.

Tak hanya itu, kelas menengah juga kurang mendapatkan akses terhadap belanja perlindungan sosial. Jika orang miskin rutin mendapatkan bantuan sosial (bansos), beda halnya dengan kelas menengah yang memang secara aturan menjadi tidak layak menerima bansos.

Bhima mengkritisi, anggaran perlindungan sosial Indonesia hanya 2,1 persen terhadap PDB. Implikasinya, banyak kelompok kelas menengah yang hidup dari utang ke utang.

"Ini bisa terlihat dari fenomena masyarakat yang akhirnya terjerat pinjol. Itu bukan orang miskin tapi kelas menengah," ujarnya.

Dia menilai, kenaikan status pendapatan apabila tidak dibarengi dengan perlindungan sosial untuk kelas menengah justru akan memperburuk ketimpangan.

Lantas, kebijakan apa yang perlu diperkuat pemerintah? Bhima menilai, perlu ada perluasan bansos. Bansos tidak hanya untuk warga miskin tapi juga untuk mencegah ekonomi kelas menengah masuk jurang kemiskinan.

Ada beberapa kebijakan yang bisa dipertimbangkan seperti menggenjot subsidi upah, pemberian modal kerja, atau subsidi bunga KPR. Hal ini perlu diberikan untuk meringankan beban masyarakat kelas menengah dan menjaga daya belinya.

Bisa juga dengan pemberian subsidi KUR yang lebih besar. Pemberdayaan UMKM dapat membantu masyarakat kelas menengah yang berusaha tumbuh dari kelas mikro menjadi kecil dan kemudian tumbuh ke usaha menengah.

Predikat yang diberikan kepada Indonesia tentu tetap perlu disyukuri sebagai bagian dari kemajuan bangsa ini. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan itu, pergeseran fokus kebijakan juga diperlukan agar masyarakat yang bergotong royong membayar pajak bisa terus merasakan kehadiran negara dalam membantu kehidupannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement