Kamis 20 Jul 2023 19:10 WIB

Putus Sekolah di Tahun Ajaran Baru

Upaya penanganan anak putus sekolah perlu dilakukan secara holistik dan integratif.

Putus Sekolah (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya
Putus Sekolah (ilustrasi)

Oleh : Didik Darmanto (Pemerhati Pendidikan, Bekerja di Kementerian PPN/Bappenas)

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun ajaran baru telah dimulai. Seyogianya menjadi awal harapan baru. Sayangnya, di saat para siswa kembali masuk sekolah,  di sisi lain ada ratusan ribu anak putus sekolah yang terpaksa  kehilangan harapan.

Pendidikan di Indonesia tidak hanya menghadapi masalah ketertinggalan dalam hasil belajar, tapi juga tingkat putus sekolah yang masih tinggi. Setiap tahun terdapat ratusan ribu anak kehilangan kesempatan bersekolah yang pernah dirasakan pada tahun ajaran sebelumnya.

Baca Juga

Semakin tinggi jenjang pendidikan, kasus anak putus sekolah juga semakin banyak. Angka drop out pada jenjang SD/MI/Sederajat sebesar 26.296 anak, jenjang SMP/MTs/Sederajat sebesar 93.323 anak, dan jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat sebesar 133.372 anak.

Sementara itu putus sekolah karena tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dari SD/MI/Sederajat ke jenjang SMP/MTs/Sederajat sebesar 56.374 anak, dan tidak melanjutkan ke jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat sebesar 181.946 anak.

Lebih dari separuh kasus anak putus sekolah pada tahun ajaran baru terjadi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar untuk kasus drop out, yakni 104.428 anak, disusul Jawa Timur 82.544 anak, dan Jawa Tengah 53.268 anak.

Pada tahun 2022, total terdapat 3.847.780 anak putus sekolah. Yakni 491.311 anak usia sekolah yang drop out pada tahun ajaran baru yang terdiri dari 252.991 anak putus sekolah di tengah jenjang dan 238.320 anak usia sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada tahun ajaran baru, serta 3.356.469 anak usia sekolah yang sudah drop out pada tahun-tahun ajaran sebelumnya.

Angka putus sekolah ini menambah panjang daftar anak tidak sekolah di Indonesia. Berdasarkan data Susenas yang diolah Bappenas, pada tahun 2022 anak usia sekolah (7-18 tahun) yang tidak bersekolah mencapai 4.087.288 anak. Angka tersebut meningkat dari 3.939.869 anak pada tahun 2021.

Ketahanan Bersekolah

Meskipun partisipasi pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, namun tingkat penyelesaian pendidikan masih relatif rendah terutama pada jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat. Pada tahun 2022, Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMA/SMK/MA/Sederajat sebesar 85,49 persen, namun angka penyelesaian pendidikannya hanya 66,13 persen. Hal ini menunjukkan kemampuan bertahan siswa dalam sistem persekolahan masih rendah.

Sebagian besar anak terpaksa melepas kesempatan bersekolah karena kesulitan biaya sekolah (24,87 persen) dan bekerja/membantu mencari nafkah (21,64 persen). 

Selain masalah ekonomi, terdapat juga alasan sosial budaya yang mengakibatkan anak tidak bertahan dalam sistem persekolahan, yakni pernikahan dini dan menjadi ibu pada usia sekolah (10,07 persen), merasa pendidikan sudah cukup (9,78 persen), dan mengurus rumah tangga (4,49 persen).

Adapun sisanya karena alasan lain seperti perundungan, anak berkebutuhan khusus (disabilitas), anak terlantar dan anak jalanan, serta anak berhadapan dengan masalah hukum.

Upaya penanganan anak putus sekolah perlu dilakukan secara holistik dan integratif dengan melibatkan lintas bidang dan jenjang pemerintahan. Pertama, memperkuat peran pemerintah daerah, keluarga, dan masyarakat sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan anak putus sekolah.

Pemerintah daerah harus membangun sistem pengendalian penanganan anak putus sekolah. Pemerintah daerah secara berjenjang sampai tingkat pemerintah desa/kelurahan melakukan tracing dan pendampingan terhadap anak putus sekolah dan berisiko putus sekolah. Anak-anak tersebut dipastikan kembali dan bertahan di dalam sistem persekolahan.

Sementara itu keluarga dan masyarakat perlu mengambil peran dalam memperkuat ketahanan bersekolah siswa. Keluarga harus melaksanakan peran dan fungsinya pada anak dengan memberikan perlindungan, kasih sayang, dan pendidikan. Sejumlah penelitian menyebutkan, keluarga yang kurang optimal dalam menjalankan peran dan fungsinya cenderung memiliki anak putus sekolah.

Kedua, memastikan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas bagi semua lapisan masyarakat. Infrastruktur pendidikan harus diperluas, terutama di daerah terpencil dan tertinggal.

Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan perlu terus didorong. Selain itu juga penguatan pendidikan non-formal dan pengembangan inovasi pembelajaran berbasis digital untuk memudahkan akses pendidikan.

Ketiga, mengatasi hambatan ekonomi yang mengakibatkan anak putus sekolah dengan memberikan bantuan pendidikan bagi anak dari keluarga tidak mampu. Program Indonesia Pintar/Kartu Indonesia Pintar dan berbagai bantuan pendidikan lainnya telah mampu memangkas kesenjangan partisipasi pendidikan antara keluarga termiskin dan terkaya.

Namun demikian sistem basis data siswa dan kesejahteraan sosial masih perlu diperkuat dan disinkronkan, untuk memastikan ketepatan sasaran, agar tidak ada anak dari keluarga miskin yang tertinggal dari bantuan pendidikan.

Keempat, menghilangkan hambatan sosial budaya dengan memperkuat sistem sosial kemasyarakatan, untuk membangun mentalitas maju dan mengubah persepsi negatif terhadap pendidikan.

Kasus anak putus sekolah menjadi persoalan serius bagi upaya peningkatan produktivitas dan daya saing sumber daya manusia. Upaya percepatan penanganan anak putus sekolah hanya dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan disokong oleh seluruh komponen bangsa. Sehingga tak ada lagi anak Indonesia yang terpaksa menghentikan langkah, di saat anak lain tetap melanjutkan sekolah.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement