Jumat 11 Aug 2023 00:04 WIB

Frugal Living, Tren atau Terpaksa?

Kenaikan harga tidak sepadan dengan kenaikan pendapatan.

Ilustrasi hidup hemat.
Foto: pixabay
Ilustrasi hidup hemat.

Oleh : Lida Puspaningtyas, Redaktur Ekonomi Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Marak sekali ya Frugal Living akhir-akhir ini. Setiap main media sosial pasti ada saja unggahan yang nyantol soal frugal living.

Gaya hidup tipe ini tentu bukan baru. Sering diasosiasikan dengan berhemat untuk mencapai tujuan tertentu, sepertinya makna frugal living kini semakin bergeser ke sana ke mari.

Baca Juga

Contoh, frugal itu hemat yang berlebihan.

Dulu, membeli barang mahal dengan maksud agar bisa awet dipakai bertahun-tahun masih disebut frugal living. Sekarang sepertinya itu tidak lagi terdengar.

Dalam kamus Cambridge sendiri, frugal sendiri artinya berhati-hati menggunakan uang atau lebih murah, atau dalam jumlah kecil. Dalam kamus Oxford artinya sederhana, lurus, dan berharga rendah atau minimum.

Tapi setiap orang kini punya definisi sendiri-sendiri tentang frugal living. Dan, mayoritas cenderung menghindarinya. Setidaknya itu yang terlihat di media sosial saat ini.

Frugal living yang ramai di jagat maya kembali naik daun karena seseorang menerapkan pengeluaran yang sangat jauh di bawah standar kebanyakan orang.  Hemat sampai titik rupiah penghabisan. Hasilnya bisa beli mobil dalam jangka waktu singkat, yang menurut banyak kalangan juga tidak mungkin dicapai.

Tentu saja banyak yang triggered!

"Hemat sih tapi masa sampai segitunya"

"Hemat sih tapi gizi anaknya nggak terpenuhi itu.."

"Hemat sih tapi parah nggak mungkin itu sudah sama bayar listrik, air, beli gas, dll,"

"Hemat sih tapi..... (masukan alasan Anda),"

Meski terkesan seperti pilihan, bagi sejumlah kalangan frugal living sudah otomatis diterapkan karena pendapatan yang 'terbatas'. Itulah kenapa frugal living zaman sekarang sering diasosiasikan dengan kemiskinan.

Dilihat dari kacamata ekonomi, frugal living bisa jadi imbas dari inflasi. Kenaikan harga berbagai komoditas yang ugal-ugalan menjadi alasan seseorang harus sangat berhemat, memutar otak, agar pasak tidak lebih besar daripada tiang.

Harga beras saja sudah naik lebih dari 10 persen sejak satu tahun lalu,... belum telur... minyak... gas.. ongkos raid hailing.. BBM..

Pemerintah memang sudah berhasil menjinakkan inflasi. Secara hitung-hitungan angka, Badan Pusat Statistik mencatat inflasi pada Juli 2023 mencapai 3,08 persen secara tahunan.

"Angka ini lebih rendah dibandingkan inflasi Juli 2022 yang mencapai 4,94 persen dan terus menunjukan tren penurunan sejak Maret 2023," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini dalam rilis BPS, Selasa (1/8/2023).

Tapi apakah masyarakat merasakan perbedaannya?

Kenaikan harga tentu tidak sepadan dengan kenaikan pendapatan. Kaum karyawan sering kali tidak mendapatkan kenaikan gaji sesuai kenaikan inflasi. Inflasi pun tidak mencerminkan gilanya kenaikan harga yang sebenarnya.

Belum lagi, pekerjaan semakin sulit digapai. Begitu pula pekerjaan tambahan. Lapangan kerja formal maupun informal semakin terbatas. Di era digital saat ini, semakin banyak lapangan kerja tergerus dan angkatan kerja tidak siap dengan keterampilan baru.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut data BPS terbaru masih per Februari 2023, yakni sebesar 5,45 persen. Jumlah pengangguran Indonesia kini sekitar 7,99 kita orang.

Rata-rata upah buruh pada Februari 2023 sebesar Rp 2,94 juta. Sudah naik 1,80 persen (yoy), rendah sekali dibanding tingkat inflasi IHK yang sebesar 5,51 persen pada 2022.

Sementara rata-rata upah buruh berpendidikan universitas sebesar Rp 4,46 juta rupiah. Sedangkan buruh berpendidikan SD ke bawah sebesar Rp 1,90 juta rupiah.

Makin banyak yang bergelimangan di bibir jurang kemiskinan, meski jatuhnya tidak disebut orang miskin. Karena untuk disebut orang miskin, pendapatan Anda harus di bawah Rp 500 ribu per bulan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement