Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, pemerhati sejarah dan pengajar di STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Biasanya hak-hak perempuan, hanya dibicarakan di asosiasi perempuan. Namun, kali ini persyarikatan di Minangkabau membicarakannya di depan utusan cabang dan groep Muhammadiyah – Aisyiyah se-Sumatra Westkust.
Pertemuan ini bukanlah tertutup. Melainkan terbuka dan dihadiri banyak orang pada 25 April1928 di gedung bioskop Scala Bio Fort de Kock, alias Kota Bukittinggi (De Indische Courant, 27 April 1928)
Tiga belas tahun pascaberdirinya di Yogyakarta, Muhammadiyah telah tersebar di Sungai Batang Maninjau (1925), Padang Panjang (1926), Simabur (1927), Lakitan (1927), dan Fort de Kock/Bukittinggi (1928). Seluruh cabang-cabang yang berada di Sumatra Westkust masing-masing berhubungan langsung dengan Hoofdbestuur Muhmmadiyah Hindia Timur.
Masing-masing cabang yang telah memiliki groep ini hanya berhubungan satu sama lain, ketika membahas kepentingan bersama yang memengaruhi mereka, sehubungan dengan keadaan di daerahnya masing-masing. Bagian-bagian dari cabang itu, kemudian bertemu dua tahun sekali di Padang Panjang. Pertemuan ini dinamakan Konferensi Daerah.
Seperti halnya di Jawa, Minangkabau juga memiliki persyarikatan perempuan yang diberi nama Aisyiyah, juga kepanduan yang dinamakan Hizboel Wathan. Bagian seksi perempuan ini juga memiliki pertemuan. Mereka juga menamakannya Konferensi Daerah.
Rapat umum yang berlangsung sejak pukul 07.30 itu dihadiri kurang lebih 700 orang. Di antara mereka yang hadir adalah pejabat administrasi Residensi Padangsche Bovenlanden dan penyelidik pribumi. Tiga orang ulama terkemuka turut hadir, seperti Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ibrahim Musa. Tetamu lainnya yang hadir adalah otoritas adat-adat dan perwakilan asosiasi.
Yang luar biasa dari pertemuan ini adalah tempat para perempuan (Aisyiyah) berada di podium dan dipisahkan dari tempat laki-laki oleh kain berwarna hijau. Oleh karena itu, para perempuan ini sama sekali tidak terlihat oleh laki-laki. Dan, yang berada di bawah usia 18 tahun yang akan memicu kegaduhan, dikeluarkan dari openbare vereeniging.
Pimpinan rapat diserahkan oleh ketua setempat kepada ketua Muhammadiyah Cabang Padang Pandjang, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto. Pertemuan diawali dengan pembacaan Alquran.
lanjutkan membaca di halaman berikutnya...