Oleh : Erdy Nasrul, Redaktur Agama Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Sejauh kaki melangkah akhirnya akan letih dan berhenti. Sepandai-pandainya memanjat akhirnya akan jatuh. Sepanjang-panjangnya usia, ajal pasti tiba. Hidup tak berlangsung selamanya. Begitulah kehidupan ini.
Suka atau tidak, fase kematian pasti akan dilalui. Pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan untuk persiapan menghadapi kematian? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita belajar kepada H Agus Maulana, warga Subang, Jawa Barat.
Pengusaha otomotif itu sudah banyak berkecimpung dalam dunia usaha, mengembangkan bengkel servis mobil di Subang, belajar dan menekuni seluk beluk kendaraan bermotor, memberdayakan karyawan, dan melayani pelanggan dengan baik. Dari usaha yang dijalani, dia mendapatkan titipan rezeki dari Allah. Rezeki itu dia manfaatkan untuk menghidupi dan membahagiakan keluarga yang dicintainya, membahagiakan karyawan, dan menyisihkan sebagiannya untuk dhuafa.
Suatu ketika, dia mengetahui ada lahan di Cimenteng, Kecamatan Cijambe, Subang, yang akan digunakan untuk para anak dan pemuda belajar agama. “Ketika itu saya diajak berpartisipasi untuk membangun kobong, saya bersedia membantu, bi idznillah,” kata Agus.
Setelah memberikan bantuan, dia tak lagi memikirkan atau menanyakan apakah bantuan itu sudah dimanfaatkan atau belum. Agus serahkan hal itu sepenuhnya kepada Allah. Beberapa waktu kemudian, dia mendapatkan kabar bahwa bantuan yang dulu pernah dia berikan sudah menjadi tempat beberapa santri belajar, namun masih sangat terbatas. Mengetahui hal itu, dia pun terdorong untuk memberikan bantuan lagi.
Suatu saat dia ber-nadzar ingin membangun bengkel yang sebagian keuntungannya dikhususkan untuk membantu pembangunan kobong tersebut. Allah pun mengabulkan permintaan Agus. Lokasinya di pinggir jalan besar. Bengkel itu terbangun dan laris. Agus pun menyisihkan keuntungan yang didapat untuk kobong.
Tempat belajar itu kini menjadi Pondok Modern Darul Falah di Cimenteng, Cijambe, Subang. Lokasinya berada di kawasan yang pada masa Orde Baru pernah menjadi Daerah Tertinggal. Pesantren itu berjarak 38 kilometer dari Stasiun Pegadenbaru, 24 kilometer dari Kota Subang, dan 39 kilometer dari Gunung Tampomas Sumedang.
Lokasinya berada di perbukitan yang hijau. Perkebunan, hutan, dan sawah, terhampar di sekitarnya. Gemericik air terdengar menenangkian hati siapa pun yang berada di sana. Ayat suci Alquran dan sholawat terlantun dari Masjid Al-Hamid di dalamnya.
Masjid itu adalah wakaf dari seorang muhsin. Dinamakan Al-Hamid untuk mengenang si pewakaf. Juga untuk mengajak orang-orang yang berada di sana untuk selalu menjadi orang yang hamid, yang berarti selalu memuji Allah, alias selalu bersyukur.
Area yang digunakan santri belajar dan beraktivitas sudah mencapai tiga hektare, luas yang cukup untuk menjadi tempat belajar 800-an santri. Kini sudah ada 325 santri bermukim di sana. 80 persen di antara mereka adalah warga sekitar pesantren. Mereka digembleng dengan ilmu agar memiliki wawasan yang luas dan iman yang kuat. Juga dibekali dengan berbagai keterampilan. Tak hanya itu, mereka juga menyaksikan langsung keteladanan guru dan kiai yang ada di pondok.
Kiai Komarudin adalah ayah para santri. Pengasuh yang mewakafkan dirinya untuk mendidik anak-anak santri. Dia adalah warga asli Cimenteng. Pada era 80 dan 90-an, dia merasakan bagaimana dahulu banyak orang di sana mimpi kampungnya dialiri listrik, mimpi dapat sekolah, mimpi memiliki jalan yang mulus, dan mimpi anak-anak Cimenteng mempunyai pesantren tempat belajar Islam.
Ketika itu desa tempatnya tinggal berada dalam banyak keterbatasan. Anak yang baru berusia belasan tahun sudah dinikahkan. Kemudian mereka hidup dalam keadaan yang serba kekurangan. Karena tidak didukung pendidikan yang cukup, minim literasi pernikahan dan rumah tangga, banyak pasangan muda di sana yang bercerai. Rumah tangga menjadi hancur. Kemudian anak yang ditinggalkan menjadi tidak terurus.
Kondisi seperti itu terus berlangsung hingga pemerintah mulai membangun infrastruktur di sana. Jalan dibangun sehingga warga mudah beraktivitas. Ekonomi di sana mulai tumbuh. Perkebunan dan sawah mulai dikelola dengan baik sehingga menyerap tenaga kerja dan menjadi penghasilan warga sekitar.
Kini mereka mempunyai Pesantren Darul Falah yang menjadi tempat belajar dan penggemblengan anak-anak. Kelak mereka akan menjadi sumber daya manusia berkualitas yang akan menjadikan Desa Cimenteng dan sekitarnya semakin berkembang.
Potret aktivitas santri
Di saat langit masih gelap, embusan angin sejuk menggetarkan badan, para santri sudah terbangun dari tidur. Mereka membersihkan diri, mendirikan sholat Tahajud, berzikir, dan membaca Alquran menanti kumandang azan Subuh.
Lantunan ayat suci Alquran menggema pada waktu tersebut, menenangkan hati siapa pun yang mendengarnya hingga azan. Pada pukul 05.00 WIB mereka melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan belajar dan persiapan masuk kelas. Pada pagi hingga siang mereka belajar formal. Lalu dilanjutkan dengan kegiatan ekstrakurikuler hingga sore hari.
Pada malam hari, tampak para santri mengaji Alquran di saung-saung yang ada di samping masjid. Mereka memperbaiki bacaan Alquran (tahsinul qiraah) dan menghafalkannya. Khusus malam Jumat, santri akan diarahkan untuk membaca Alquran bersama. Tiga puluh santri akan dikumpulkan. Masing-masing membaca satu juz Alquran. Dalam waktu singkat mereka mengkhatamkan Alquran. Kegiatan itu rutin dilaksanakan setiap pekan. Setiap tujuh hari Pesantren Darul Falah Cimenteng mengkhatamkan Alquran secara berjamaah.
Wakaf
Kiai Agus dan Kiai Komarudin bercita-cita, Pesantren Darul Falah terus berkembang. Aset yang ada terus bertambah agar keberlangsungan pesantren terjaga. Mereka menilai, pesantren harus ditopang dengan ekonomi yang kuat, sehingga pendidikan pesantren menjangkau masyarakat yang lemah (dhuafa).
Pesantren Darul Falah tak sepenuhnya membebankan biaya pendidikan kepada santri. Mereka yang belajar di sana diharuskan mengirimkan beras 15 kilogram untuk makan seorang santri setiap bulan. “Kebanyakan masyarakat di sini berprofesi sebagai petani. Insya Allah membawa beras sebanyak itu tidak menyulitkan orang tua santri,” kata Kiai Komarudin.
Adapun biaya pendidikan seperti iuran sekolah dan pesantren, banyak ditopang dari para muhsinin yang peduli kepada keberlangsungan Pesantren Darul Falah. Mereka digerakkan dan dihimpun dalam wadah Darul Falah Peduli (Dafa Peduli), lembaga filantropi yang mengelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Kebaikan para muhsinin yang dihimpun Dafa Peduli akan dialokasikan untuk menopang biaya operasional, pembangunan, dan perluasan pesantren.
Kebaikan yang ada telah menjadikan Pesantren Darul Falah terus berkembang. Area yang dimanfaatkan para santri mencapai tiga hektare. Masih ada lima hektare lahan dipenuhi pepohonan dan hamparan tanah. Sebagian di antaranya dimanfaatkan untuk perkebunan.
Sebagian yang dijadikan kebun itu ada di sebelah utara pesantren. Area itu berupa dataran tinggi. Jika berdiri di sana, maka akan menyaksikan Kota Subang dari ketinggian disertai semilir angin nan sejuk. Indah sekali.
“Setiap tamu yang datang ke Pesantren pasti saya ajak ke sini untuk mendoakan kami dan pesantren yang kami kelola, mudah-mudahan di tanah ini kami dapat mengagungkan asma Allah mendidik generasi penerus bangsa yang shaleh, berperangai mulia, dan berwawasan luas,” kata Agus Maulana.
Dia yakin sekali menerapkan wakaf akan menjaga keberlangsungan pesantren yang dirintisnya. Bahwa dengan wakaf, Pesantren Darul Falah akan selalu hidup sampai kiamat tiba.
Dia melihat wakaf Nabi Muhammad dan para sahabat 14 abad silam. Bentuknya adalah Masjid Nabawi. Hingga kini miliaran orang menikmati wakaf tersebut.
Wakaf masyarakat Aceh berupa hotel dan aset produktif di Makkah yang diinisiasi Habib Buja al-Asyi adalah contoh lain. Sejak ratusan tahun lalu wakaf itu dimulai dan dikelola. Hingga kini, manfaatnya dirasakan masyarakat Aceh yang menjadi jamaah jamaah haji. Mereka selalu mendapatkan uang saku hasil pengelolaan aset wakaf yang sudah dirintis beberapa abad silam.
Pondok Modern Darussalam Gontor, tempat Agus Maulana belajar tiga dekade silam, dikelola dengan wakaf. Tidak ada pihak keluarga ahli waris yang mengeklaim kepemilikan aset wakaf. Aset wakaf dikelola oleh nadzir wakaf atau pengelola wakaf berupa badan atau yayasan yang di dalamnya adalah orang-orang terpilih. Mereka adalah para profesional berbekal visi yang sama untuk mengembangkan dan melestarikan wakaf dengan ikhlas.
Benchmarking Pesantren Darul Falah adalah lembaga-lembaga di atas. “Semuanya harus wakaf. Tanah, bangunan, termasuk guru dan kiai di dalamnya, harus wakaf, kita menginginkan yang ada di dalam lingkungan Darul Falah adalah wakaf,” kata Agus.
Ketika mewakafkan harta, profesi, bahkan diri seseorang, berarti, semua itu sepenuhnya dipasrahkan kepada Allah. Nadzir adalah sekumpulan orang yang mendapat amanah untuk mengelola aset wakaf tersebut. Dengan kepasrahan seperti itu, maka nantinya Allah langsung yang memastikan keberlangsungannya.
Allah yang menjamin pahala dan ridha-Nya untuk orang-orang yang melakukan wakaf hingga hari akhir. Mereka yang berwakaf pasti mati seperti makhluk lainnya. Namun, meski jasad mereka mati, nama mereka selalu dikenang yang hidup.
Pahala dari kebaikan wakaf yang pernah dilakukan selalu mengalir kepada mereka, mengikis kerak dosa yang menyempitkan mereka di Barzakh, hingga akhirnya melapangkan dan memudahkan jalan menuju raudhah min riyadhil jannah.