Oleh: Fikrul Hani Sufyan, pemerhati sejarah, pengajar di STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
“Koto Gadang, kotanya kecil, tapi hatinya gadang” kalimat ringkas yang dibubuhkan Presiden Soekarno pada 4 Juli 1948. Kunjungan Bung Karno ke Koto Gadang ini, terjadi setelah tiga tahun Indonesia merdeka, dan beberapa bulan jelang lahirnya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Siapa pun mengetahui, ketika menyebut nama Nagari Koto Gadang, memori kolektif setiap anak bangsa, akan terkoneksi pada nama-nama besar. Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan Roehana Koeddoes adalah deretan nama besar dalam panggung sejarah – yang berasal dari Koto Gadang.
Bahkan, penasihat pribumi untuk pemerintah Hindia Belanda, Douwe Adolf Rinkes pernah menyebut, Koto Gadang merupakan nagari awal yang disentuh modernisasi dan tercerahkan melalui pendidikan Baratnya (Pandji Poestaka, 5 Desember 1924). Klaim ini, bukanlah isapan jempol. Rinkes mengutip dari data lulusan STOVIA dan OSVIA yang berasal dari Minangkabau, sebagiannya adalah orang Koto Gadang.
Lalu, kenapa Bung Karno tiba-tiba bertandang ke kampung halaman sahabatnya, yakni proklamator Bung Hatta?. Sebenarnya pun, bukan tiba-tiba ayah dari Megawati Soekarno Putri itu, hadir di Bukittinggi, dulu di masa Kumpeni bernama Fort de Kock
Bung Karno hadir di Sumatra Barat, untuk kali kedua, pada 2 Juni 1948. Menumpang pesawat milik Amerika Serikat, di bagian lambungnya bertuliskan City of Detroit, mendarat mulus di Lapangan Gadut Bukittinggi tepat pukul 10.00 pagi.
Bung Karno yang muncul di pintu pesawat, dengan busana khasnya yang berwana putih berdiri sebentar, dan melihat ke khalayak ramai. Sambil mengepalkan tangannya, ia pun menerikkan “merdeka!”
Kemudian disambut bersahutan oleh rakyat yang telah menunggu, dengan suara menggelengar “Merdeka! Merdeka!” Adapun rombongan yang menyertainya adalah Mr. Abdul Karim, Dr. Soekiman, Dr Asikin, Winoto Danuasmoro, dan lainnya (Merdeka, tanggal 5 Juni 1948).