Jumat 18 Aug 2023 09:24 WIB

Kontradiksi Merdeka Belajar Melawan Kemerdekaan: Kelanjutan Liberalisme Kolonial?

Pendidikan hanya jadi menjaga strata dan kelas sosial tertentu yang diwariskan

Red: Muhammad Subarkah
Para siswa sekolah belajar  berbasis daring dalam bentuk aplikasi . (ilustrasi)
Foto: Humas Universitas Brawijaya
Para siswa sekolah belajar berbasis daring dalam bentuk aplikasi . (ilustrasi)

Oleh: Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis

Ada 44,19 juta siswa di Indonesia pada tahun ajaran 2022/2023 (BPS). Ditambah 7,8 juta mahasiswa yang tercatat hingga awal tahun 2023. Membicarakan Merdeka Belajar di momen HUT kemerdekaan Indonesia yang ke 78, bermakna membincang cara perlakuan negara terhadap hidup 56 juta manusia di republik ini. 

Kata ‘manusia’ dalam pernyataan di atas tidak boleh diganti dengan istilah sumberdaya manusia (SDM). Bagaimanapun, konsep SDM seperti ditulis Richard Huff, bias ekonomi kapitalisme. Secara teoretis, konsep SDM menekankan hubungan antara investasi terus menerus menyiapkan manusia dan peningkatan produktivitas ekonomi.

Dari sudut pandang ini, ada kontradiksi gagasan di Kemendikbud dalam menjelaskan kebijakan Merdeka Belajar. Satu sisi, Merdeka Belajar dinyatakan berangkat dari ajaran Ki Hajar Dewantara yang sepenuh-penuh hati mementingkan mental kemerdekaan dan kemandirian kaum terpelajar. Sisi lain, Kemendikbud menekankan Merdeka Belajar merupakan langkah mengejar SDM Unggul Indonesia yang ekonomi sentris. Artinya, Merdeka Belajar merupakan kebijakan pendidikan untuk mengabdi sebaik-baiknya pada tatanan ekonomi kapitalisme.

Mental kemerdekaan dalam ajaran pendidikan Ki Hajar Dewantara justru merupakan hal menakutkan bagi tatanan ekonomi kapitalisme. Seperti dijelaskan pakar kapitalisme pendidikan Amerika, Samuel Bowles dan Herbert Gintis, bahwa dunia kapitalisme membutuhkan mental jinak kaum buruh. Lembaga-lembaga pendidikan modern bertugas menyiapkan itu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement