Oleh: Idealisa Masyrafina, jurnalis Republika.
Dalam narasi sejarah Indonesia, Madiun Raya kerap diidentikkan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948. Padahal, jauh sebelum pemberontakan PKI, ada berbagai peristiwa yang lebih menonjol dan memiliki dampak besar.
Madiun Raya menjadi salah satu episentrum perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda pada abad ke-19. Begitu kentalnya narasi tentang peristiwa 1948 itu memantik keprihatinan sejumlah tokoh kelahiran Madiun Raya. Maka, muncullah inisiatif untuk menyusun sejarah seputar eksKeresidenan Madiun dalam trilogi.
Inisatif ini mulai diwujudkan pada 2020 berkat dukungan berbagai pihak. Pada Oktober 2021, terbit dua buku. Pertama, Antara Lawu dan Wilis: Arkeologi, Sejarah, dan Legenda Madiun Raya Berdasarkan Catatan Lucien Adam (Residen Madiun 1934–38). Buku ini merupakan terjemahan atas lima artikel berbahasa Belanda karya Lucien Adam. Empat artikel mengungkap sejarah modern awal Madiun Raya (abad ke-16 hingga 19). Sementara satu artikel membahas periode klasik (Hindu-Buddha).
Dalam buku ini, pembaca dapat merasakan transisi menuju Islam, pertumbuhan wilayah perdikan yang membawa pusat-pusat studi Islam terkemuka, hingga pengaruh Perang Jawa (1825–1830) di kawasan ini. Buku ini memberikan pandangan Eropa yang tak hanya menganalisis, tetapi juga memahami ciri khas Madiun Raya. Antara Lawu dan Wilis dilengkapi dengan dua karya penulis lain, yaitu tulisan Fokko Fokkens Sr (1852–1922) dan Akhlis Syamsal Qomar, sejarawan muda Madiun.
Baca di halaman selanjutnya...