Ahad 03 Sep 2023 12:28 WIB

Setengah Hati Menekan Polusi

Polusi udara memang banyak faktor penyebabnya.

Kondisi polusi di langit Jakarta terlihat dari Gedung Perpustaakan Nasional, Jakarta, Senin (14/8/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kondisi polusi di langit Jakarta terlihat dari Gedung Perpustaakan Nasional, Jakarta, Senin (14/8/2023).

Oleh : Mas Alamil Huda, Redaktur Polhukam Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Uji emisi kendaraan bermotor kini menjadi salah satu yang paling getol dilakukan sebagai upaya menekan polusi udara di Jakarta. Alasannya, penyumbang terbesar polusi udara di Ibu Kota adalah gas buang kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Langkah ini diyakini efektif, atau paling tidak sebagai ikhtiar agar udara kembali layak dihirup manusia. Tapi mari kita lihat penerapannya dengan logika sederhana.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuka data, bahan bakar yang digunakan di Jakarta sebagai sumber emisi, 0,42 persen berasal dari batu bara. Sedangkan sumber emisi dari minyak sebesar 49 persen, dan gas 51 persen. Jika dikelompokkan berdasarkan sektor-sektornya,  transportasi penyumbang 44 persen emisi, 31 persen dari industri energi, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen.

Jumat (23/8/2023), uji coba tilang bagi kendaraan bermotor yang tidak lulus uji emisi pun mulai dilakukan dengan sanksi berupa surat teguran. Per 1 September 2023, tak ada lagi surat teguran. Nantinya, yang tidak lolos didenda sebesar Rp 250 ribu untuk kendaraan roda dua dan Rp 500 ribu untuk kendaraan roda empat akan diberlakukan dalam tilang uji emisi kendaraan bermotor.

Razia kendaraan roda dua dan empat jadi sasaran. Ada yang tak lulus, dan sebagian besar lulus dari uji ini. Pertanyaannya, seberapa efektif razia model seperti ini diimplementasikan di lapangan?

Kita lihat data Badan Pusat Statistika (BPS). Ada 17.304.447 sepeda motor di Jakarta. Mobil sebanyak 3.766.059 kendaraan. Kemudian ada bus dan truk yang jumlahnya lebih kecil dari mobil. Total, kendaraan bermotor di Jakarta mencapai lebih dari 26 juta kendaraan. Data ini per 2022. Sampai pertengahan 2023, jumlahnya tentu naik. Untuk sepeda motor dan mobil penumpang saja, jumlahnya lebih dari 21 juta kendaraan.

Polusi udara memang banyak faktor penyebabnya. Musim, arah, dan kecepatan angin, hingga lanskap Jakarta menjadi faktor natural yang sulit dikendalikan. Tetapi juga jangan lupa ada faktor yang merupakan dampak dari aktivitas manusia, seperti sektor transportasi, industri, termasuk kegiatan rumah tangga. Inilah yang bisa diintervensi sebagai upaya menekan polusi.

Lantas, pemerintah pusat atau daerah atau dinas lingkungan atau kepolisian atau siapapun, melakukan uji emisi dengan cara razia di jalanan? Sampai kapan selesainya dengan jumlmah kendaraan sebegitu banyak di Jakarta? Sementara udara yang dihirup manusia di Jakarta dan yang tinggal di wilayah penyangganya selalu dalam kategori tidak sehat setiap harinya.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa uji emisi tidak efektif untuk menekan polusi udara. Bagaimanapun, secara teori dan aturan, para ahli sepakat langkah uji emisi harus dilakukan. Tapi, uji emisi merupakan bagian dari puzzle untuk mewujudkan lingkungan bersih. Karena sebagai bagian, artinya ada faktor lain yang turut berkontribusi mencemari udara, maka dalam menerapkannya pun perlu dibarengi langkah lain sehingga lebih komprehensif.

Uji emisi adalah rangkaian panjang yang tak boleh jeda dilakukan untuk memastikan emisi gas buang dari kendaraan tidak melebih batas yang ditentukan. Waktunya pun tak mungkin sehari atau dua hari untuk bisa mencakup keseluruhan. Apalagi diharapkan berdampak signifikan dalam waktu sekejap dengan razia. Tidak mungkin.

Kita sepakat, udara buruk ini harus menjadi momentum bagi semua untuk menyadari bahwa uji emisi memang penting. Jika memang petugas harus razia, pemda dan kepolisian, atau siapa pun, setidaknya menggandeng pihak bengkel di tempat razia. Jika ada kendaraan yang tidak lolos uji emisi, pengendara diwajibkan menyervis atau membenahi motornya di tempat dengan bengkel yang sudah disiapkan. Ada solusi di sana.

Pengendara pun pasti lebih ikhlas jika uang Rp 250 ribu atau Rp 500 ribu dipakai untuk memperbaiki kendaraannya daripada harus dibayarkan sebagai denda. Tujuan atau ujung dari razia agar kendaraan tidak mengeluarkan gas buang di luar batas dan aman untuk lingkungan, bukan?

Tapi sekali lagi, razia hanya efek kejut. Untuk bisa mencakup semua dan berdampak efektif, maka butuh waktu dan sistem yang tertata rapi.

Musim hujan

Di sisi lain, pemerintah berupaya untuk mempekerjakan setengah ASN di Jakarta dari rumah. Tujuannya agar penggunaan kendaraan berkurang. Ini dilakukan Pemprov DKI Jakarta sekaligus pemerintah pusat juga melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). Pemprov DKI Jakarta bahkan sudah memulainya pekan lalu.

Sayangnya, dalam suratnya, dua-duanya melakukan itu untuk kepentingan lain. Keputusan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 17/2023 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara yang Berkantor di Wilayah Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Selama Masa Persiapan dan Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Tahun 2023 Ke-43.

Surat edaran tersebut ditandatangani Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas. Surat edaran tersebut dikeluarkan dalam rangka mendukung kelancaran persiapan dan penyelenggaraan KTT ASEAN ke-43 yang berlangsung pada tanggal 5-7 September 2023 di Jakarta.

Artinya, menekan polusi udara memang bukan yang utama. Kalau begitu, apakah upaya menekan polusi di Ibu Kota Jakarta sepenuh hati dilakukan semata memperbaiki kualitas udara dan kualitas hidup manusianya? Atau jangan-jangan, sebenarnya kita semua ini sama-sama memaklumi dalam pemahaman, “toh nanti udara juga bagus lagi kalau musim hujan tiba?”.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement