Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, Pemerhati Sejarah dan Pengajar di STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh
Sejak dunia dilanda depresi ekonomi, termasuk tanah jajahan, pemerintah Kolonial Belanda menjadi sensitif. Muka mereka menjadi merah padam, tatkala pribumi protes terhadap kondisi ekonomi yang tidak membaik sejak awal Januari 1930.
Sekali bergerak, menyuarakan protes lewat surat kabar, apatah lagi di openbare – atau pertemuan umum, bisa-bisa langsung dikenai pasal vergader verbond – aturan yang diberlakukan di Hindia Belanda, guna melarang orang untuk berkumpul, berkumpul, dan berbicara dengan orang lain tanpa izin (Sufyan, 2017, 2021). Di Sumatra Barat – yang kerap diguncang protes dan perlawanan terhadap pemerintah, juga tidak luput dari pasal karet ini.
Beberapa tokoh pergerakan asal Minangkabau – yang pernah dikenai tuduhan merusak rust en orde adalah Abdul Muis, Haji Ahmad Chatib gelar Datuk Batuah, Natar Zainuddin, Djamaluddin Tamim, Samik Ibrahim, dan lainnya (Sufyan, 2021).
Tidak saja kalangan laki-laki, kaum perempuan juga beberapa kali dijerat pasal karet itu, sebut saja Rasuna Said, dan Rasimah Ismail (De Locomotief, 1933), serta Oepik Itam (De Indische courant, 22 November 1926).
Mereka yang tergolong radikal dan sulit untuk ditundukkan, dan berpengaruh besar terhadap massa, cepat-cepat diringkus dan dihukum buang. Ada yang dibuang ke Nusa Tenggara (Kefamenanu dan Kalabahi), Boven Digoel (Tanah Merah dan Tanah Tinggi), Jawa Tengah, dan ada pula yang berpindah-pindah penjara, seperti yang dialami oleh Oepik Itam – seorang perempuan penggerak dari Sarekat Itam.
Lanjutkan membaca di halaman berikutnya...