Oleh : Erdy Nasrul, Redaktur Agama Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam sebuah pertemuan dengan ratusan kiai pesantren dan pimpinan lembaga pendidikan Islam, Wakil Kapolri 2016-2018 Komjen Pol (Pur) Syafruddin Kambo mewanti-wanti tahun 2045. Masa Indonesia mencapai usia 100 tahun. Seabad kemerdekaan. Usia Indonesia yang sudah mencapai tiga digit.
Ini bukan sekadar usia yang menua. Tapi ada hal yang menarik lagi. Di masa itu, komposisi penduduk Indonesia akan mencapai ‘keunikannya’. Pada 2045, diperkirakan 70 persen lebih penduduk Indonesia berusia produktif mulai 14 hingga 64 tahun. “Saya mungkin sudah tidak merasakan masa itu. Tapi kita semua harus mempersiapkan generasi yang akan datang untuk menghadapi 2045” kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi periode 2018-2019 itu.
2045 diprediksi menjadi waktu ‘kematangan’ usia bangsa ini. Masa Indonesia akan mencapai keemasannya, kejayaannya, keharumannya. Bukan dengan leha-leha, untuk mencapai masa itu, sedini mungkin, kita harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) tangguh.
SDM merupakan elemen paling strategis. Jauh lebih berharga ketimbang sumber daya alam dan intan permata. Dengan SDM berkualitas, Sparta bisa mengalahkan Persia dalam Perang Thermopylae pada 480 SM. Pasukan Muslim yang hanya 313 orang mampu mengalahkan 1300 pasukan kafir. Militansi mereka yang luar biasa, menjadikan Allah menguatkan SDM pasukan Muslim dengan bantuan 3.000 hingga 5.000 malaikat (Ali Imran ayat 124-125).
Dengan SDM berkualitas, orang-orang di Aanchen Jerman, tempat Habibie dahulu belajar, bisa menghasilkan inovasi teknologi seperti membuat kereta api dan pesawat terbang. “Di sana tidak ada sumber daya alam, tapi SDM-nya luar biasa, menjadi energi yang menghidupkan gemerlap kota,” kata Habibie kepada tim Republika pada 2016.
Jika melihat kembali bagaimana ‘sunnah’ dahulu, umat Islam memantapkan diri dengan iman. Ketika seseorang mengimani Allah adalah Tuhannya, malaikat itu ada, kitab Allah adalah benar, nabi dan rasul itu membawa risalah tauhid, hari kiamat adalah nyata, serta takdir baik dan buruk adalah keniscayaan, maka bibit iman sudah tertanam di dalam hatinya. Kata Allah, ulaaika kataba fi qulubihimul iimaan (al-Mujadalah: 22).
Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah menjelaskan, orang beriman adalah mereka yang membenarkan rukun iman dalam hatinya. Lisan mereka menuturkan keyakinan tersebut, yaitu mereka ber-hujjah untuk menyebarluaskan, menguatkan, dan membela iman, saat ‘diserang’ golongan anti-iman. Kemudian orang beriman itu, seluruh organ tubuhnya, lahir dan batin, mengamalkan keyakinan tersebut (al-‘amal bil jawarih).
Organ batin tempat iman bersemayam adalah hati. Di sinilah ma’rifatullah tertanam. Hati menyimpan ilmu hakikat Allah sebagai pencipta, makhluk (alam beserta isinya) atau ciptaan, dunia, jiwa, kebahagiaan, akhirat, dan wujud lahir-batin. Semua pengetahuan itu tersusun menjadi bangunan yang indah.
Dahulu, SDM umat Islam serius mendalami ilmu-ilmu dasar tersebut. Mereka mengkaji tafsir Alquran dan hadits tentang itu semua, memahaminya secara mendalam, dan menjadi ‘acuan’ atau alat filter dalam ‘membedah’ berbagai tradisi di luar Islam.
Bangunan ilmu tadi digunakan untuk melihat berbagai pandangan mengenai metafisika Yunani sehingga melahirkan maa waraat thabiah Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, dan ulama lainnya. Kemudian disempurnakan lagi oleh Al Ghazali dalam berbagai karyanya yang ‘mematangkan’ kerja saintifik kreatif peradaban Islam dalam melahirkan ilmu pengetahuan. Maka jadilah kesimpulan bahwa tidak ada yang abadi selain Allah, sebagai bantahan terhadap asumsi bahwa alam dan ruh kekal, sebagaimana dijelaskan dalam Tahafutul Falasifah. Bahwa konstruksi ilmu dalam Islam bermula dari informasi atau khabar yang bisa jadi benar (shidq) atau dusta (kidzb). Karena itu harus diverifikasi dan dikompilasikan, sehingga menjadi ilmu.
Tak sampai di situ, ilmu harus diproses lebih lanjut dengan sentuhan ketenangan batin sehingga dia selalu nikmat untuk ditadabburi, menjadi oase di kala hati sumpek. Olahan ilmu ini disebut dengan hikmah. Nabi Muhammad membawa hikmah tentang tauhidullah, bahwa tiada Tuhan selain Allah. Sesuatu yang sebelumnya dan sudah diajarkan ribuan nabi. Namun menyegarkan hati banyak orang yang mengamalkan ajarannya, bahkan selalu hidup membersamai perubahan zaman meski didakwahkan 14 abad silam.
Setelah hikmah, adalah hakikat yang abadi, yaitu ketuhanan, yang disebut dengan kebenaran. Bahwa wujud yang kekal, tak termakan waktu, yang tak terbatasi ruang, hanya Allah. Syed Muhammad Naquib Al Attas menyebutnya dengan kebenaran (truth).
Ilmu yang berkait kelindan dengan kebenaran telah membawa Islam kepada kerja keilmuan yang strategis. Para ulama menghasilkan kajian keilmuan yang membangun peradaban. Ulama dahulu mengkaji musik bukan sekadar sebagai seni, tapi juga alat terapi yang membangkitkan motivasi dan keimanan sebagaimana diceritakan MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy.
Seribu tahun lalu, Ibnu Haitsam merenungkan indra penglihatan dan menjabarkannya sebagai organ yang mampu melihat bias cahaya yang begitu indah. Dia gambarkan organ mata yang tersimpan di dalam ‘ruang gelap’ kepala dan terhubung dengan organ pengetahuan sehingga mengirimkan pesan warna warni. Proses ini menjadikan seseorang dapat melihat dan mendapatkan pengetahuan.
Dalam perkembangannya, ternyata apa yang ditulis Ibnu Haitsam yang merupakan jebolan Universitas Al Azhar Mesir itu, menginspirasi Roger Bacon (abad ke-13) dan Kepler (abad ke-16 dan 17) untuk meneliti optik. Kemudian menjadi dasar temuan mikroskop, teleskop, kamera, yang membuat kita saat ini bisa berselfie ria.
Khidmah santri
Belajar dari ibrah di atas, umat Islam harus mampu melakukan kerja kreatif keilmuan. Bil khusus kaum santri yang dikenal sebagai komunitas yang ‘lebih dalam’ memahami dan mengamalkan keislaman, merupakan representasi ulama masa lalu yang dikenal kreatif. Mereka mampu menggabungkan ilmu dan melakukan kerja ilmiah menghasilkan temuan yang bermanfaat untuk manusia.
Mereka akan memilah tradisi apa yang cocok untuk bangsa ini dan bagaimana ‘memoles’ atau memodifikasi hal tersebut agar sesuai dengan keindonesiaan. Ada yang dapat diambil sepenuhnya. Ada pula yang harus dimodifikasi. Kemudian ada yang harus dibiarkan berada di luar sana karena berseberangan dengan kearifan kita. Begitulah kaum santri nanti akan melakukan khidmah kreatifnya.
Berdasarkan data Kemenag 2023, terdapat 4,08 juta santri di seluruh Indonesia. Mereka belajar di 39.043 pesantren. Santri dikenal sebagai komunitas strategis yang mempengaruhi keberlangsungan bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Merekalah yang menanamkan jiwa antipenjajahan, jiwa cinta ilmu, dan membangun peradaban bermartabat.
Kaum santri saat ini harus dibekali ilmu – ilmu dasar tentang ketuhanan, ciptaan, jiwa, hakikat wujud, dan lainnya. Semua itu akan menjadi ‘pegangan’ mereka untuk memproses secara kreatif berbagai temuan dan tradisi di luar Islam untuk kemudian dikonsumsi dan menjadi komoditas umat.
Kerja keilmuan itu, bukan sekadar dengan membuka, membaca, dan memahami, lembaran demi lembaran buku dan kitab suci, tapi juga tadabbur. Harus ada mujahadah, kerja batin, atau tirakat, sehingga organ batin memandang segala hal dengan utuh. Bukan sekadar ijtihad individu, tapi juga dengan bantuan Allah.
Berbekal semua itu, kaum santri akan mampu menghadapi 2045 dengan menghasilkan kerja kreatif. Kelak Indonesia menjadi bangsa berilmu tinggi, menghadirkan jutaan inovasi, dengan tetap memegang keluhuran tradisi. Penduduk yang ketika itu didominasi mereka yang berusia produktif akan berbuat banyak hal konstruktif yang tetap berpijak pada kearifan agama sebagai pegangannya, seperti para ulama dan orang-orang shaleh dahulu yang melahirkan terobosan hebat.
Dengan begitu, Indonesia akan mencapai keemasannya pada 2045, sebagaimana dijelaskan