Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Tidak sampai sebulan lagi, tepatnya pada 10 Oktober 2023, pendaftaran capres-cawapres untuk pilpres 2024 akan dibuka. Rakyat Indonesia akan memulai rangkaian pesta demokrasi untuk menentukan presiden dan wakil presiden 2024-2029.
Sejauh ini, sudah ada tiga nama bakal capres (bacapres) yang muncul ke permukaan. Tiga nama ini memiliki elektabilitas yang tinggi dibanding nama-nama lainnya.
Mereka adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Sedangkan untuk nama bacawapresnya, sejauh ini yang sudah pasti dideklarasikan oleh koalisi partai adalah Muhaimin Iskandar yang akan mendampingi Anies Baswedan.
Jika kita seksama, tiga nama ini adalah nama-nama yang sudah muncul sejak satu dekade lalu dalam konteks per-politikan di Indonesia. Ada yang pernah bekerja sama, pernah di perahu yang sama, hingga pernah mendukung satu sama lain di ajang perpolitikan Indonesia baik Pilpres, Pilkada, maupun Pemilu.
Anies misalnya, pada Pilpres 2014, dia menjadi juru bicara (jubir) Jokowi-Jusuf Kalla yang kala itu menjadi pasangan pesaing satu-satunya Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bahkan, ketika Jokowi-JK memimpin Indonesia di periode pertama, Anies diberi jabatan oleh Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan.
Namun pada 2017, Anies Baswedan malah didukung dan diusung oleh Prabowo Subianto selaku Ketum Partai Gerindra pada Pilgub DKI Jakarta. Padahal tiga tahun sebelumnya mereka berada di perahu yang berbeda.
Kemudian, pada 2019, Prabowo yang berseberangan dan bersaing dengan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019, malah memutuskan bergabung dengan Jokowi di pemerintahan. Prabowo diberi jabatan oleh Jokowi sebagai Menteri Pertahanan hingga saat ini.
Sementara Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang merupakan ketum PKB, sejak 2014 mendukung Jokowi dan bersama-sama berkoalisi dengan PDIP. Sementara pada Pilgub DKI Jakarta 2017, PKB berseberangan dengan Anies Baswedan karena mendukung Ahok-Djarot.
Sedangkan Ganjar Pranowo, sejak lama merupakan politikus PDIP, dan pernah bersama-sama satu koalisi dengan PKB/Cak Imin. Namun, kemungkinan besar pada Pilpres 2023 ini akan berbeda perahu.
Dari fakta di atas, dapatlah kami pahami jika politik itu dinamis. Sehingga, kita sebagai rakyat Indonesia, dan umat Islam khususnya, sebaiknya melihat hajatan Pilpres ini sebagai hajatan politik semata saja.
Meminjam istilah Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Pilpres ini cuma prosedur, bukan jihad fi sabilillah, bukan perang badar, bukan hidup soal mati. Ini hanya prosedur untuk menentukan pejabat.
Pendapat Gus Yaqut ini seolah mewakili pandangan saya soal pilpres selama ini. Miris rasanya, di tahun 2023 ini, jika masih ada sebagian saudara kita yang mengelu-elukan salah satu calon dan merendahkan calon lainnya. Padahal, para bacapres-bacawapres itu adalah orang-orang lama di perpolitikan nasional. Mereka pernah bersama-sama, pernah juga berseberangan dalam hajat politik.
Apalagi, jika masih ada yang mengait-ngaitkan persoalan pilpres ini dengan isu-isu agama. Sebagaimana kita tahu, pada masa kampanye Pilpres 2019 lalu, ada salah satu pendukung capres yang mengait-ngaitkan pemilu seperti 'perang badar'. Bahkan, dia berujar jika calon yang diusungnya tidak menang, nanti Allah terancam tak disembah lagi.
Padahal kenyataannya, calon yang diusungnya itu kalah, dan malah bergabung dengan yang menang. Sementara hingga detik ini, Allah masih disembah oleh umat Islam Indonesia.
Sehingga, bagi penulis, ya santai saja dalam menghadapi pilpres ini. Jika kita pasif, ya kita tinggal membaca dan mempelajari rekam jejak para capres dan cawapresnya. Piliihlah yang paling terbaik di antara mereka.
Jika kita aktif dalam mendukung mereka, ya kampanyelah secara elegan. Utarakan kelebihan calon yang kita dukung tanpa perlu merendahkan calon lainnya. Dengan begitu, kita akan semakin bijak dalam berpolitik. Dan, kedewasaan kita dalam berbangsa dan bernegara pun akan semakin baik.