Jumat 22 Sep 2023 12:19 WIB

Kondisi Ketahanan Air di Indonesia Menuju Krisis Dampak Perubahan Iklim

Kekeringan sudah mulai terjadi di sejumlah wilayah Indonesia akibat perubahan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Ketahanan air di Indonesia menuju krisis dengan ditandainya kekeringan yang melanda sejumlah daerah dan kesulitan air bersih.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketahanan air di Indonesia menuju krisis dengan ditandainya kekeringan yang melanda sejumlah daerah dan kesulitan air bersih.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUPATEN BOGOR -- Krisis air bersih menjadi salah satu ancaman paling nyata yang akan dihadapi Indonesia dan negara-negara lain di seluruh dunia. Berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), diproyeksikan bahwa pada tahun 2025, seluruh bumi akan mengalami krisis air.

PBB juga memperkirakan pada tahun 2030, kebutuhan air tawar global akan meningkat sekitar 40 persen lebih tinggi daripada ketersediaannya saat ini, sebagai akibat dari perubahan iklim, aktivitas manusia, dan pertumbuhan penduduk. Setelah Cape Town yang beberapa waktu lalu mengalami krisis air bersih, sebelas kota lain yang juga terancam mengalami hal yang sama yaitu Sao Paulo, Bangalore, Beijing, Kairo, Jakarta, Moskwa, Istanbul, Mexico City, London, Tokyo, dan Miami.

Baca Juga

Rektor Universitas Pertahanan RI Mayor Jenderal TNI Jonni Mahroza, mengatakan bahwa kondisi ketahanan air di Indonesia saat ini sedang menuju krisis air. Ditandai dengan terjadinya kekeringan di Nusa Tenggara (NTT, NTB), Maluku, Jawa (Gunung Kidul), dan terjadinya banjir di DKI, Bandung dan beberapa kota lainnya sebagai dampak dari perubahan iklim.

“Dampak dari perubahan iklim ini disebabkan oleh pencemaran lingkungan, terutama pencemaran udara oleh karbon dan nitrat yang berkontribusi pada efek rumah kaca dan hujan asam. Efek rumah kaca memiliki dampak yang signifikan pada peningkatan suhu global, termasuk suhu perairan laut,” kata Jonni Mahroza dalam sambutannya dalam acara seminar Water Security Technology for Indonesia, di Universitas Pertahanan, Kabupaten Bogor, Jumat (22/9/2023).

Ia menjelaskan, peningkatan suhu laut ini telah memicu fenomena seperti badai El Nino dan La Nina, yang mengakibatkan timbulnya spot-spot daerah yang terlalu basah dan terlalu kering. Daerah yang terlalu basah mengakibatkan curah hujan yang tinggi dan banjir, sedangkan daerah yang terlalu kering menyebabkan kekeringan dan kekurangan air.

“Dampak ini memiliki efek sistemik yang berpengaruh pada aspek pertahanan dan keamanan negara, seperti penurunan ketersediaan air bersih, penurunan produktivitas pangan, pertanian dan industri, bencana alam, serta dampak lainnya yang dapat dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari,” jelas dia.

Saat ini, penurunan ketersediaan air yang merata diperkirakan akan terjadi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara selama periode proyeksi 2020-2045. Pada tahun 2024, tercatat penurunan rata-rata ketersediaan air sebesar 439,21 meter kubik per kapita per tahun di Pulau Jawa dan 1.098,08 meter kubik per kapita per tahun di Nusa Tenggara. Dampak ekonomi negatif di sektor ini diperkirakan mencapai Rp 27,9 triliun.

Karenanya, kata Jonni, tindakan mitigasi yang tepat diperlukan untuk memperkuat ketahanan air negara dan mencegah kerugian negara yang lebih besar. Terlebih, krisis air ke depan dapat memicu perang antar negara, hal ini disebabkan nilai vital air yang mempengaruhi segala aspek.

"Krisis air ke depan dapat memicu perang antar negara, hal in disebabkan nilai vital air yang mempengaruhi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Jonni.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement