Oleh : Nidia Zuraya, Redaktur Internasional Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Menjalani kehidupan sebagai perempuan Muslim di Prancis adalah 'tantangan' tersendiri. Negara yang menjunjung tinggi sekularisme tersebut telah berulang kali membidik tata busana Muslimah.
Yang terbaru yakni larangan penggunaan abaya di sekolah. Aturan soal larangan abaya ini disampaikan langsung oleh Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attal.
Menurut Attal, abaya adalah isyarat keagamaan. Oleh sebab itu dia menilai, penggunaannya di sekolah harus dilarang.
Jauh sebelum larangan abaya diberlakukan, pada 2004 pemerintahan mantan presiden Prancis Jacques Chirac memutuskan melarang pemakaian hijab di sekolah negeri.
Pada 2010, Prancis memutuskan melarang total penggunaan pakaian yang menutupi seluruh wajah, termasuk burka dan nikab. Pakaian semacam itu tidak boleh dikenakan di ruang publik mana pun di Prancis.
Pelanggarnya berisiko dikenakan denda 150 euro. Kala itu pelarangan burka dan nikab memantik kemarahan besar dari banyak komunitas Muslim di Prancis.
Prancis sebenarnya tak memiliki larangan pemakaian hijab di ruang publik. Penggunaan hijab atau jilbab masih diperbolehkan di ruang publik Prancis termasuk toko, kafe, dan jalan-jalan. Namun burka dan nikab dikategorikan berbeda oleh negara tersebut.
Pada 2021, para Senator Prancis mengusulkan amandemen terhadap 'RUU anti-separatisme' pemerintah yang akan melarang anak perempuan di bawah 18 tahun mengenakan hijab di ruang publik. Beberapa amandemen lainnya juga menyasar perempuan Muslim, seperti pelarangan ibu mengenakan jilbab saat menemani perjalanan sekolah.
Namun semua amandemen tersebut kandas dalam Assemblée nationale. Oleh karena itu ia tidak menjadi UU.
Kebijakan serupa juga diterapkan di Swiss dan Mesir. Muslimah Swiss dilarang mengenakan niqab atau cadar di tempat umum.
Larangan ini berlaku setelah pada 20 September 2023 lalu parlemen Swiss mengeluarkan undang-undang yang melarang penutup wajah, termasuk mengenakan niqab atau cadar bagi wanita Muslim. Mereka yang melanggar aturan ini dikenakan denda sebesar 1.000 franc Swiss atau sekitar 1.114 dolar AS.
Namun, ada beberapa pengecualian terhadap larangan tersebut, termasuk layanan keagamaan, adat istiadat, pertunjukan teater, dan penggunaan jilbab karena alasan kesehatan atau iklim.
Undang-undang larangan niqab ini disetujui oleh majelis tinggi parlemen, yang dikenal secara lokal sebagai Nationalrat. Hasil pemungutan suara di parlemen menunjukkan 151 suara setuju dengan larangan niqab, sementara 29 lainnya menolak.
Sebelumnya pada 2021, Pemerintah Swiss mengadakan referendum mengenai masalah ini, dengan 51,2 persen suara mendukung larangan nasional terhadap penggunaan cadar di tempat umum. Sementara 48,8 persen suara menolaknya.
Larangan ini bukan yang pertama di kawasan Eropa, Prancis dan Belgia adalah negara Eropa pertama yang melarang niqab di tempat umum pada 2011. Diikuti oleh Bulgaria pada 2016, Austria pada 2017, dan Denmark pada 2018.
Sementara di Mesir larangan niqab ini diberlakukan kepada para siswi di sekolah. Namun, Menteri Pendidikan Mesir Reda Hegazy mengatakan siswi masih memiliki opsi untuk menutup rambut mereka. Keputusan ini mulai berlaku pada tahun ajaran yang dimulai 30 September hingga 8 Juni 2024.
Jika di negara-negara Eropa, hak Muslimah dikebiri dalam hal cara berbusana, berbeda dengan yang terjadi di Afghanistan. Rezim Taliban yang berkuasa di Afghanistan melarang kaum perempuan untuk mengeyam pendidikan di bangku sekolah.
Larangan ini berlaku mulai dari sekolah dasar hingga jenjang universitas. Bahkan larangan tersebut juga berlaku untuk mereka yang ingin bersekolah ke negara lain.
Padahal pendidikan merupakan kewajiban dalam Islam bagi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, setiap perempuan Muslim berhak untuk mendapatkan pendidikan.
Tak hanya terkait akses pendidikan, Taliban juga mengekang perempuan dalam sektor pekerjaan. Otoritas Taliban memerintahkan para pekerja perempuan berhenti bekerja di organisasi bantuan internasional.
Lebih jauh lagi, Taliban juga membatasi aktivitas perempuan Afghanistan di ruang publik. Yang terbaru adalah kaum perempuan dilarang pergi ke salon kecantikan dan mengunjungi taman umum, termasuk taman nasional paling populer di Afghanistan.
Kebijakan-kebijakan terhadap kaum perempuan Afghanistan ini dinilai karena penguasa Taliban ingin menjadikan rumah sebagai penjara bagi perempuan di Afghanistan.