REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VII DPR memastikan power wheeling tidak akan masuk dalam draft rancangan undang-undang energi baru dan energi terbarukan. Hal ini menyusul adanya risiko kenaikan tarif listrik tanpa peran negara.
Anggota Komisi VII DPR Andi Yuliani Paris mengatakan harga listrik dari energi baru dan energi terbarukan masih sangat mahal, baik dari sisi investasi maupun harga konsumsi bagi masyarakat. Power wheeling adalah mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung.
“Kalau sudah dikuasai swasta, harga pasti ditentukan oleh swasta. Saat ini, investasi EBET masih sangat mahal. Jadi harga listriknya pasti mahal,” ujarnya dalam keterangan tulis, Ahad (1/10/2023).
Maka itu, Andi menegaskan, setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya power wheeling tidak dimasukkan dalam draft rancangan undang-undang tersebut.“Pada konsep tersebut saya kurang setuju. Saya termasuk yang anti power wheeling. Listrik terbilang cukup di Tanah Air. Masih cukup dipenuhi oleh negara,” ucapnya.
Selain risiko kenaikan harga dan kecukupan pasokan listrik, menurutnya, keandalan dan keberlanjutan energi baru dan energi terbarukan juga masih menjadi pertanyaan. “Listrik dari tenaga surya dan angin itu belum mampu memenuhi saat kondisi cuaca tertentu. Misalnya tidak ada angin atau pada malam hari," ucapnya.
Saat ini, Andi menyebut, DPR dan pemerintah fokus untuk memenuhi kebutuhan listrik yang handal dan terjangkau untuk masyarakat.
“Pada tahap ini, kami sepakat tidak memasukkan power wheeling dalam RUU EBET mengingat negara harus hadir dalam memenuhi kebutuhan energi bagi rakyatnya,” ucapnya.
DPR berharap, papar Andi, rancangan undang-undang tersebut sudah disahkan sebelum periode masa jabatannya berakhir pada akhir 2024 mendatang.
“Semoga RUU tersebut segera bisa disahkan sehingga masyarakat bisa tenang dengan pencapaian kami (Komisi VII) dalam memperjuangkan listrik yang handal dan terjangkau,” ucapnya.