REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Rosy Setiawati*
Osteoporosis adalah kondisi ketika kepadatan tulang berkurang sehingga tulang menjadi keropos dan mudah patah. Sedangkan sarkopenia adalah kondisi yang ditandai dengan hilangnya massa otot dan fungsi otot secara progresif dan global seiring bertambahnya usia, meningkatkan risiko jatuh dan patah tulang.
Kedua kondisi ini dapat terjadi bersamaan dan berdampak besar terhadap aktivitas maupun kinerja fisik sehari-hari. Hilangnya kepadatan tulang dan massa otot seiring bertambahnya usia merupakan ancaman besar bagi seseorang karena akan mengalami penurunan kualitas hidup karena disfungsi fisik dan nyeri pasca patah tulang, risiko patah berulang, hilangnya kemandirian, munculnya penyakit degeneratif lainnya, lamanya perawatan, dan pengobatan di rumah sakit membuat pembiayaan menjadi membesar dan pada akhirnya akan terjadi kematian. Hal ini menjadi beban medikososioekonomi bagi kesehatan nasional di suatu negara.
Kita ketahui bersama bahwa proses penuaan merupakan proses alami dikaitkan dengan penurunan fungsi yang ireversibel dan involusi anatomi sistem neuromuskuloskeletal secara keseluruhan. Seiring bertambahnya usia, seseorang akan kehilangan sebesar 20-30 persen massa otot, dan pada usia di atas 90 tahun mencapai 50 persen, di mana wanita kehilangan rata-rata 1 kilogram sedangkan pria 2 kilogram massa otot perdekade.
Seperti halnya dengan osteoporosis, sarkopenia juga mempunyai dampak yang signifikan terhadap status kesehatan lansia sehingga mengakibatkan beban ekonomi yang sangat besar, khususnya di Amerika Serikat dilaporkan bahwa biaya tahunan yang dikeluarkan akibat patah tulang osteoporosis diperkirakan sebesar 16,3 miliar dolar, sedangkan biaya akibat sarkopenia sebesar 18,5 miliar dolar.
Osteosarkopenia juga dikaitkan dengan peningkatan angka kematian yang signifikan, sebuah studi di Korea melaporkan bahwa patah tulang pinggul yang terjadi pada kondisi osteosarkopenia memiliki angka kematian dalam 1 tahun sebesar 15,1 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan osteoporosis (5,1 persen) atau sarkopenia (10,3 persen). Beberapa studi menyebutkan bahwa osteosarkopenia merupakan silent killer yang mengancam para lansia. Sayangnya, untuk di Indonesia studi prevalensi masih belum banyak mengkaji terkait dampak yang diakibatkan dari kondisi ini.
Dengan meningkatnya dampak kesehatan nasional yang serius ini, maka program pendeteksian osteosarkopenia sebagai upaya pencegahan kejadian patah tulang begitu penting dan sangat dibutuhkan. Beberapa metode klinis, laboratoris maupun pencitraan telah dikembangkan untuk mendeteksi osteosarkopenia. Alat dual-energy X-ray absorptiometry (DXA) merupakan teknik pencitraan non-invasif yang mengukur kepadatan tulang dan massa otot, memberikan informasi berharga untuk mendiagnosis osteoporosis dan sarkopenia.
Pemindaian DXA menghasilkan pengukuran yang akurat dengan memanfaatkan prinsip penyerapan sinar-X dosis rendah untuk membedakan antara tulang dan jaringan lunak, sehingga memungkinkan evaluasi kepadatan mineral tulang dan massa otot secara tepat. Keuntungan deteksi dini osteoporosis dan sarkopenia melalui pemindaian DXA, memungkinkan penanganan tepat waktu untuk mencegah patah tulang, meningkatkan kesehatan tulang, dan menjaga fungsi otot. DXA saat ini masih menjadi baku emas untuk mengukur kepadatan mineral tulang (BMD) pada osteporosis maupun untuk mengukur whole body composition (WBC) untuk sarkopenia.
Pada DXA, parameter pengukuran yang dipakai untuk pada osteoporosis, menggunakan T-score atau Z-score. Diagnosis menggunakan T-score diperuntukkan kepada wanita pascamenopause atau pria berusia lebih dari 50 tahun, sedangkan Z-score lebih ditujukan kepada wanita pramenopause (dari usia 20 tahun hingga menopause) atau pria berusia antara 20 dan 50 tahun.
Untuk sarkopenia, parameter pengukurannya menggunakan jumlah massa otot tanpa lemak apendikular (ALM) serta indeks massa otot per tinggi badan (ALMI). Untuk interpretasi hasil BMD, seseorang didiagnosis mengalami osteoporosis apabila T-score nya sama dengan atau kurang dari -2, sedangkan dengan Z-score apabila sama dengan atau kurang dari -2, sesuai dengan diagnosis 'di bawah kisaran usia yang diharapkan'. Untuk parameter diagnosis sarkopenia apabila kurang dari 5,47 kilogram per meter persegi untuk wanita dan kurang dari 7,59 kilogram per meter persegi untuk pria.
Kemampuan DXA untuk mendeteksi, memprediksi kejadian fraktur akibat osteosarkopenia serta memonitor hasil pengobatan, mengingatkan kita akan pentingnya pemindaian DXA rutin dan pemantauan berkelanjutan untuk melacak perubahan kepadatan tulang dan massa otot. Hal ini akan membantu untuk intervensi dini pengobatan osteosarkopenia, mengoptimalkan hasil pengobatan, dan memastikan kesehatan tulang dan otot jangka panjang. Dengan pemantauan hasil komposisi tulang dan kekuatan massa otot ini, diharapkan seorang individu dapat mencegah osteoporosis beserta insiden patah tulangnya dengan penerapan perubahan gaya hidup, seperti rutin berolahraga menahan beban, kecukupan asupan kalsium dan vitamin D, serta menghindari kebiasaan penggunaan rokok dan konsumsi alkohol berlebihan. Untuk pencegahan sarkopenia berfokus pada latihan ketahanan secara teratur, konsumsi protein yang cukup, pemeliharaan pola makan seimbang, dan pendekatan medis terhadap kondisi penyakit yang berkontribusi terhadap hilangnya otot.
Dengan memahami diagnosis dan menerapkan tindakan pencegahan yang tepat yang telah diulas di atas, mendorong proses penuaan yang sehat dan berkualitas, karena seseorang tentunya tidak akan bisa lepas dari penuaan alami yang terjadi. Sangatlah penting untuk terus mengedukasi tentang kesehatan tulang dan otot melalui kampanye kesadaran masyarakat dan program pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong strategi pencegahan osteosarkopenia serta upaya organisasi layanan kesehatan untuk terus menerus mendorong program deteksi dini menggunakan DXA untuk memantau kepadatan mineral tulang (BMD) dan whole body composition (WBC) serta memberikan panduan tentang metode pencegahan dan penanganan osteosarkopenia. Kualitas hidup lansia yang baik dan berkualitas, akan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia yang tentu sangat berdampak pada kesehatan sosioekonomi negara yang optimal juga. Maka, sayangilah tulang dan otot kita untuk mewujudkan kesehatan dunia yang berkualitas.
*Guru Besar Bidang Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga