Rabu 18 Oct 2023 00:18 WIB

Krisis Air Ancaman Nyata di Eropa, 30 Persen Penduduknya Kekurangan Air Bersih

Penduduk Eropa mulai alami kekurangan pasokan air dalam beberapa tahun terakhir.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Krisis air di Eropa menjadi hal yang sangat menantang dari sektor pertanian.
Foto: www.freepik.com
Krisis air di Eropa menjadi hal yang sangat menantang dari sektor pertanian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Krisis air menjadi ancaman nyata yang dihadapi masyarakat di Eropa. Sebanyak 30 persen populasi Uni Eropa, telah terdampak oleh berkurangnya pasokan air dalam beberapa tahun terakhir.

Profesor Politik dan Lingkungan di King’s College London, Naho Mirumachi, mengatakan bahwa krisis air di Eropa menjadi hal yang sangat menantang bagi sektor pertanian. Pasalnya irigasi pertanian setidaknya membutuhkan 3000 liter air.

Baca Juga

“Kita juga mengimpor banyak makanan, sehingga kita bergantung pada bagaimana negara-negara dibelahan dunia lain mengelola air," ujar Mirumachi seperti dilansir Euronews, Rabu (18/10/2023).

Pejabat senior di Bidang Pangan dan Pertanian PBB, Jippe Hoogeveen, memprediksi bahwa negara-negara di Eropa akan semakin bergantung pada impor pangan. Pasalnya, sektor pertanian di Eropa sudah tidak dapat memproduksi produk pangan karena suhunya terlalu panas.

Spanyol adalah salah satu negara Eropa yang paling terpengaruh oleh situasi ini. Setelah tiga tahun mengalami curah hujan yang rendah dan suhu yang tinggi, layanan cuaca nasional negara tersebut menyatakan kekeringan jangka panjang pada awal tahun ini. Beberapa hasil panen bahkan mungkin harus dihapuskan.

Namun, negara-negara di Eropa Utara dan Timur juga semakin terpengaruh oleh tekanan pada pasokan air. "Orang-orang berpikir bahwa Inggris adalah negara hujan, namun sebenarnya kami juga mengalami kekeringan dan tempat-tempat seperti ini menyediakan pertanian yang penting bagi kami,” kata Mirumachi.

Sumber daya air yang langka tidak hanya menjadi ancaman bagi pertanian, tetapi juga sektor energi. Mirumachi menjelaskan, ketika negara-negara di Eropa berkomitmen menuju transisi energi yang lebih bersih, pada prosesnya itu perlu ditunjang dengan air yang berlimbah.

“Jika kita memiliki lebih sedikit air di sungai-sungai, itu berarti kita tidak akan bisa mengandalkan pembangkit listrik tenaga air,” kata dia.

Pembangkit listrik tenaga air -yang menggunakan air untuk menghasilkan listrik atau menggerakkan mesin- dianggap sebagai energi alternatif yang berkelanjutan, dibandingkan dengan pembangkit listrik yang digerakkan oleh bahan bakar fosil.

Di sisi lain, pertumbuhan populasi global yang meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2030, juga menyebabkan tekanan pada sumber daya air. Tingginya populasi pada akhirnya membuat kebutuhan akan makanan, material gaya hidup, gawai, dan lainnya yang sebetulnya sangat boros air.

“Jadi, bukan hanya perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya kekurangan air," jelas Naho Mirumachi.

Guna mencegah krisis air terjadi semakin parah, Organisasi Meteorologi Dunia telah menyerukan perubahan kebijakan mendasar dalam mengelola air. Sejak tahun 2000, Uni Eropa telah berupaya untuk mengatasi masalah ini, melalui Water Framework Directive, yang berfungsi untuk memastikan kualitas perairan Eropa.

Namun, 90 persen daerah aliran sungai di berbagai negara Uni Eropa masih tidak sehat pada tahun 2027, demikian kesimpulan dari laporan yang diterbitkan oleh WWF dan Living Rivers Europe Coalition.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement