Rabu 18 Oct 2023 19:05 WIB

Satelit Badan Antariksa Eropa Tangkap Foto Antartika, 40 Persen Lapisan Es Mencair

Dari 162 lapisan es Antartika, 71 di antaranya mengalami penurunan volume.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pengikisan lapisan es telah melepaskan sekitar 74 triliun ton air tawar yang mencair ke lautan.
Foto: Al Arabiya
Pengikisan lapisan es telah melepaskan sekitar 74 triliun ton air tawar yang mencair ke lautan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamatan satelit telah mengungkapkan hilangnya kepadatan es yang mengkhawatirkan di lapisan es Antartika selama seperempat abad terakhir, yang menyoroti dampak perubahan iklim yang semakin cepat. Temuan ini berasal dari 100 ribu gambar radar satelit, terutama dari misi satelit Copernicus Sentinel-1 dan CryoSat milik Badan Antariksa Eropa (ESA), yang menunjukkan bahwa lebih dari 40 persen lapisan es yang mengambang telah berkurang volumenya secara signifikan sejak tahun 1997.

Dari 162 lapisan es Antartika, 71 di antaranya mengalami penurunan volume, demikian temuan tim peneliti. Lapisan es Antartika ini kehilangan sekitar 8,3 triliun ton selama periode penelitian, yang merupakan kehilangan rata-rata 330 miliar ton setiap tahun.

Baca Juga

Pengikisan lapisan es telah melepaskan sekitar 74 triliun ton air tawar yang mencair ke lautan, yang dapat mempengaruhi sirkulasi laut. Belt conveyor air yang bolak-balik antara khatulistiwa dan kutub bumi ini sangat penting dalam mengatur suhu global dan berfungsi sebagai rantai pasokan nutrisi untuk kehidupan air.

"Banyak lapisan es yang telah banyak mengalami kerusakan: 48 lapisan es mencair lebih dari 30 persen massa awalnya hanya dalam waktu 25 tahun. Ini adalah bukti kuat bahwa Antartika sedang berubah karena iklim yang memanas,” kata salah satu penulis studi sekaligus profesor di School of Earth and Environment di University of Leeds di Inggris, Anna Hogg.

Temuan-temuan ini memberikan gambaran yang kompleks. Antartika sangat luas, dan lautan di sisi barat benua ini memiliki arus dan angin yang berbeda dengan lautan di sisi timur. Hal ini mendorong air yang lebih hangat di bawah lapisan es di sisi barat. Akibatnya, hampir semua lapisan es di Antartika bagian barat mencair, sementara sebagian besar lapisan es di bagian timur tetap utuh atau bahkan bertambah banyak.

“Ada gambaran yang beragam tentang kerusakan lapisan es, dan ini berkaitan dengan suhu laut dan arus laut di sekitar Antartika," kata penulis utama studi Benjamin Davison, seorang peneliti di University of Leeds.

“Bagian barat terpapar air hangat, yang dapat dengan cepat mengikis lapisan es dari bawah, sedangkan sebagian besar Antartika Timur saat ini dilindungi oleh lapisan air dingin di Pantai,” tambah Davison seperti dilansir Space, Rabu (18/10/2023).

Kehilangan es terbesar ditemukan di Lapisan Es Getz, lapisan es Antartika terbesar, yang membentang sepanjang 500 kilometer di sepanjang garis pantai Pasifik-Antartika. Studi ini menemukan bahwa 2 triliun ton es telah hilang dari sini sejak tahun 1997, dan 5 persen dari kehilangan tersebut disebabkan oleh lempengan es yang sangat besar yang terlepas dan hanyut ke lautan. Sisa 95 persen dari hilangnya es adalah akibat pencairan di dasar Lapisan Es Getz.

Gambaran serupa berkembang selama seperempat abad di lapisan es Pine Island, yang menopang gletser Pine Island yang sangat besar dan mencair dengan cepat. Tim menemukan bahwa lapisan es ini telah kehilangan 1,4 triliun ton es, dengan sekitar sepertiganya akibat bongkahan es yang melayang bebas ke Laut Amundsen. Dua pertiga dari hilangnya es di Pine Island Ice Shelf adalah akibat dari pencairan di dasarnya.

Lapisan Es Amery di sisi lain Antartika mendapatkan 1,3 triliun ton es sebagai akibat dari air dingin, meskipun wilayah tersebut kehilangan lempengan es yang sangat besar ketika memisahkan diri dan hanyut ke Laut Weddell pada bulan September 2019.

Temuan ini menunjukkan bahwa lapisan es Antartika gagal beregenerasi di bawah tekanan iklim yang memanas. "Kami memperkirakan sebagian besar lapisan es akan mengalami siklus penyusutan yang cepat, tapi berumur pendek, kemudian tumbuh kembali secara perlahan. Sebaliknya, kami melihat bahwa hampir separuh dari mereka menyusut tanpa tanda-tanda pemulihan,” kata Davison.

Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya satelit seperti Copernicus Sentinel-1 dan CryoSat untuk memantau lanskap kutub yang terpencil ini selama musim dingin di kutub yang gelap.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement