REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maskapai penerbangan besar seperti American, Delta, Southwest, dan United telah menetapkan target untuk mencapai emisi gas rumah kaca nol pada tahun 2050. Untuk mencapai itu, kini banyak di antara maskapai penerbangan yang mulai menjajaki strategi baru dengan menggunakan bahan bakar penerbangan berkelanjutan (sustainable aviation fuel/SAF).
SAF didefinisikan sebagai bahan bakar dengan bauran energi terbarukan atau berasal dari limbah yang memenuhi kriteria keberlanjutan. Saat ini, SAF dibuat dari limbah pertanian semisal kayu, ganggang, bahkan minyak goreng bekas. Bahan baku ini sangat terbatas, dan inilah alasan utama mengapa SAF sangat mahal.
Dalam jangka panjang, produsen ingin membuat SAF dengan teknologi yang disebut power to liquid. Dengan menggunakan listrik terbarukan, mereka akan mengambil karbon dioksida yang ditangkap dan hidrogen terbarukan untuk membuat bahan bakar jet sintetis. Salah satu keuntungannya adalah variasi bahan baku ini memperluas rantai pasokan bahan bakar.
Power to liquid sangat serbaguna karena karbon dan hidrogen dapat dipanen di mana saja, bukan diekstraksi dan dimurnikan di beberapa lokasi seperti kebanyakan bahan bakar fosil. Itulah sebabnya angkatan bersenjata, termasuk militer AS, juga berinvestasi dalam bahan bakar berkelanjutan.
Namun demikian, ada beberapa peringatan penting untuk SAF. Asisten Profesor Teknik Kedirgantaraan di University of Michigan, Gokcin Cinar, mengatakan bahwa SAF tidak nol emisi, tetapi nol-bersih emisi. Pasalnya, SAF masih melalui proses pembakaran yang sama dengan bahan bakar konvensional.
"Maka dari itu, pembakaran SAF masih menghasilkan karbon dioksida, dan juga banyak polutan yang sama dengan bahan bakar konvensional seperti nitrogen oksida,” kata Cinar seperti dilansir Vox, Jumat (20/10/2023).
Penghitungan karbon juga bisa menjadi rumit. Dibutuhkan energi untuk memurnikan, memproses, dan mengangkut SAF. Jika energi tersebut berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, maka SAF akan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Dan jika Anda membuka hutan belantara untuk menanam tanaman bahan bakar nabati untuk membuat SAF, maka hal tersebut juga akan meningkatkan jejak karbon. Namun demikian, dampak iklim secara keseluruhan masih jauh lebih kecil daripada bahan bakar konvensional.
Selain itu, SAF juga membutuhkan lebih banyak investasi untuk mulai beroperasi. SAF menyumbang kurang dari 0,1 persen dari bahan bakar jet global dan berada di jalur yang tepat untuk tumbuh menjadi 4 persen pada tahun 2030.
United Airlines sedang melebarkan sayapnya di seluruh rantai pasokan SAF. Maskapai ini berinvestasi pada perusahaan yang bekerja pada power to liquid, SAF berbasis etanol, bahan bakar dari mikroalga, penyulingan bahan bakar nabati, dan mengubah sampah menjadi bahan bakar. Perusahaan ini juga mencari cara untuk meningkatkan SAF dengan teknologi yang sudah ada. Tahun lalu, United membeli sekitar 3 juta galon SAF, sekitar 0,8 persen dari total penggunaan bahan bakarnya.
Insentif dan peraturan juga menjadi penting, karena bagaimanapun operasional maskapai diatur oleh kebijakan negara-negara. "Pasar tidak akan bergairah tanpa kebijakan yang tepat,” kata Chief Sustainability Officer United, Lauren Riley.
Di AS, para anggota parlemen telah merespon hal ini. Undang-undang Pengurangan Inflasi memberikan kredit sebesar 1,25 dolar AS per galon untuk campuran SAF yang mengurangi emisi setidaknya 50 persen dibandingkan bahan bakar yang ada. Berbeda dengan AS, Uni Eropa cenderung lebih progresif dengan menetapkan mandat yang mengharuskan SAF untuk mengisi setidaknya 6 persen dari bahan bakar yang dipompa di bandara-bandara pada tahun 2030, dan porsinya akan meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2050.
Kebijakan tersebut pada akhirnya membuat permintaan SAF meningkat, dan bahkan Eropa sudah terjadi kekurangan. Air France-KLM telah menggunakan SAF lebih dari empat kali lipat lebih banyak daripada United. Bahkan maskapai penerbangan yang tidak memiliki komitmen untuk melakukan dekarbonisasi pun melirik SAF karena mereka berharap dapat terbang di wilayah udara negara yang memberlakukan pembatasan emisi.
Persaingan sengit untuk mendapatkan bahan bakar baru yang saat ini sangat langka adalah bagian dari alasan mengapa maskapai penerbangan juga mencoba teknologi penggerak alternatif, yang mungkin akan membuahkan hasil dalam beberapa dekade mendatang. United misalnya, telah berinvestasi pada perusahaan yang mengembangkan baterai, mesin hidrogen, dan pesawat lepas landas vertikal listrik. Meskipun maskapai tidak bergantung pada offset karbon standar, mereka berinvestasi pada perusahaan yang menangkap karbon dioksida langsung dari udara sebagai cara untuk menyeimbangkan pembukuan emisi mereka.